in ,

Implikasi Pengharmonisasian Aturan Perpajakan Dalam Memperkuat Ekonomi

Implikasi Pengharmonisasian Aturan Perpajakan Dalam Memperkuat Ekonomi
FOTO : IST

Gelombang virus korona masih melanda seluruh bagian dunia. Nampaknya saat ini belum terlihat akan hilangnya virus tersebut, sebaliknya virus tersebut terus bermutasi. Namun, para ahli tidak ingin kalah terhadapa perkembangan virus korona yaitu dengan menghasilkan vaksin yang diklaim dapat menangkal masuknya virus dalam tubuh manusia sekalipun terjangkit tapi gejala yang dialami tidaklah parah. Akibat muncul virus korona menyebabkan lumpuhnya aktivitas masyarakat tak terkecuali pada jalannya perekonomian yang dirasakan hampir seluruh negara-negara di dunia. Berbagai strategi dibuat untuk memulikhan kembali roda perekonomian. Begitu pun dengan Indonesia juga tidak luput dari badai tersebut.

Diprediksi pada 2023 Indonesia akan defisit APBN yang tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB sehingga ini menjadi tantangan besar[1]. Pemerintah harus mengupayakan pendanaan baru guna mengurangi defisit APBN 2022 dan 2023 yang harus kembali ke level 3 persen. Namun di saat yang sama, ini juga menjadi peluang untuk menyelenggarakan reformasi perpajakan secara besar-besaran karena pajak merupakan salah satu pendapatan terbesar negeri ini. Maka salah satu cara untuk memanfaatkan peluang besar tersebut dengan membuat suatu regulasi yang dapat mengakomodir segala permasalahan yang ada. Maka pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang selanjutnya disingkat dengan UU HPP.

Hadirnya UU HPP cukup banyak mengubah ketentuan dari UU Perpajakan sebelumnya, sehingga UU HPP akan memberikan wajah baru bagi perpajakan Indonesia. Materi undang-undang ini juga diklaim telah memuat sebagaimana yang diamanatkan reformasi perpajakan, yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan serta memberikan dampak positif bagi kalangan masyarakat menengah-bawah dan lingkungan.

Kebangkitan Reformasi Perpajakan

Reformasi perpajakan dilakukan untuk mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan dinamika masa depan yang harus terus diantisipasi. Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini, seperti maraknya bisnis yang berbasis digital. Sedangkan dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM.[2]

Baca Juga  Mengenal “Treaty Shopping”, Dampak, dan Langkah Pencegahannya

Dalam UU HPP ini juga terlihat bagaimana komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan fiskal secara menyeluruh. Perbaikan terus menerus di sisi belanja melalui berbagai upaya penguatan efisiensi dan efektivitas anggaran harus disertai dengan penguatan di sisi pendapatan. Keberhasilan reformasi kebijakan fiskal sangat krusial karena akan memberikan efek domino reformasi pada bidang kesehatan dan pendidikan untuk penguatan modal manusia, serta keberlanjutan penguatan infrastruktur. Reformasi struktural akan membentuk fondasi bagi ekonomi yang semakin tumbuh tinggi secara berkelanjutan ke depan untuk mencapai Indonesia Maju 2045, melalui penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kompetitif. Pun dari sisi administrasi perpajakan, UU HPP juga akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan. Hal ini dilakukan melalui penggunaan NIK sebagai NPWP OP, penyesuaian persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama.[3]

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Fajry, pengamat pajak dari Ceneter for Indonesia Taxation

Analysis (CITA), UU ini memiliki beberapa dampak positif yaitu : Pertama, pada kluster KUP di UU HPP, banyak memberikan ketentuan baru untuk mencegah praktik penghindaran pajak serta menambahkan kewenangan fiskus. Penyesuaian besaran sanksi juga dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan bagi wajib pajak. Yang mana dalam kluster PPN, banyak barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan kini masuk ke dalam sistem perpajakan namun tetap diberikan fasilitas dibebaskan. Di kluster PPh, diatur pajak atas natura, penambahan layer tarif teratas untuk menjamin keadilan. Kedua,kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen di tahun 2022 akan mengakselerasi kinerja penerimaan PPN di tahun 2022. Kinerja penerimaan PPN sendiri telah menjadi mesin penggerak utama perbaikan kinerja penerimaan perpajakan 2021 sejalan dengan pemulihan ekonomi. Ketiga, pajak karbon memberikan paradigma baru bagi perpajakan di Indonesia. Pungutan ini mengenalkan objek baru yakni emisi gas rumah kaca. Lebih lanjut, pengenaan pajak karbon di Indonesia menjadi salah satu pionir pengenaan pajak karbon di negara berkembang.[4]

Sebagaimana dampak positif pada poin pertama, dalam UU HPP adanya keadilan yang ingin dihadirkan. Dimana tidak semua kategori dibebankan pajak yang sama. Adanya pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ini merupakan tonggak reformasi perpajakan dan mencerminkan nilai keadilan. Dengan demikian aturan ini memiliki keberpihakan kepada masyarakat kecil dan pelaku UMKM. Sebab adanya penyesuaian tarif PPH baru mengenakan tarif yang lebih besar untuk masyarakat yang berpenghasilan besar dan tarif yang lebih kecil untuk masyarakat yang lebih kecil.

Baca Juga  Batas Waktu Telah Lewat, Wajib Pajak Orang Pribadi Masih Bisa Lapor SPT?

Pada poin kedua, adanya kenaikannya meski hanya 1 persen, tapi hal tersebut akan berdampak cukup besar bagi penerimaan jika perekonomian di tahun 2022 mampu tumbuh dengan optimal. Selain itu juga akan berdampak pada pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Selanjutnya, pada poin ketiga pengenaan pajak karbon ini merupakan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon pada tahun 2030 sebesar 29 persen dan 41 persen dengan dukungan dan kerja sama internasional. Kebijakan ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Selain itu, kebijakan ini mendukung peningkatan daya saing Indonesia di tingkat global dan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian di masa depan.

Pajak Berkeadilan

Basis dari reformasi perpajakan yang ideal melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Di sisi pajak penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dilakukan dengan perbaikan progresivitas PPh Orang Pribadi (OP) dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh OP terendah 5 persen dari yang sebelumnya Rp50 juta, serta menambah satu lapisan tarif PPh OP tertinggi 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun. Sementara, keadilan dan keberpihakan pada sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.[5]

Akan adanya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 mendatang yang akan dilakukan pemerintah akan menimbulkan dampak pada harga barang yang terkerek naik. Dibalik kenaikan tersebut, pemerintah juga harus dapat memastikan jika kenaikan PPN tidak lantas jadi kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi dari dampak pandemi covid-19. Tapi yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan penerimaan negara dan konsolidasi fiskal.

Baca Juga  Pemkot Bengkulu Bentuk Tim Gerebek Pajak

Dengan disahkannya UU HPP, maka akan terpenuhi asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Selanjutnya yang wajib dilakukan pemerintah adalah melakukan sosialisasi guna menjelaskan secara rinci implementasi UU tersebut. Hal tersebut menjadi wajib dilakukan karena tidak semua orang paham dengan bahasa hukum yang sulit dipahami. Ditambah lagi, pemerintah memberikan rincian hingga ke simulasi agar aturan baru bisa dipahami semua warga.

Seiring dengan implementasi UU HPP, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan mencapai Rp1.649,3 triliun pada tahun depan atau setara 109,2% dari target yang ditetapkan pada UU APBN 2022 sejumlah Rp1.510,0 triliun. Pemerintah juga memperkirakan rasio pajak (tax ratio) mencapai 9,22% pada tahun depan, atau lebih tinggi dari estimasi awal sebesar 8,44% PDB. Tahun berikutnya, pemerintah menargetkan rasio pajak menjadi 9,29%, 9,53% pada 2023, dan 10,12% pada 2025.[6] Dengan semakin besarnya penerimaan pajak yang diperoleh, maka haruslah berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana slogan dalam negara demokrasi yaitu pamerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal itu pun berlaku dalam dunia perpajakan. Pajak yang berasal dari rakyat haruslah kembali ke rakyat pula dengan memperhatikan asas keadilan sehingga tidak hanya Sebagian golongan saja yang menikmatinya, tapi semua rakyat terkhusus untuk kalangan menengah ke bawah yang harus mendapatkan perhatian khusus. Agar kesejahteraan tidak hanya dirasakan sebagian tapi secara keseluruhan dapat menikmatinya.

[1] Tira Santia. (2021, November 24). Sederet Dampak Positif UU HPP, Apa Saja?. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4719207/sederet-dampak-positif-uu-hpp-apa-saja

[2] UU HPP Perkuat Sistem Perpajakan agar Mampu Hadapi Tantangan Ekonomi di Masa Depan. (2021, Oktober 11). Diakses pada Januari 2, 2022 dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/uu-hpp-perkuat-sistem-perpajakan-agar-mampu-hadapi-tantangan-ekonomi-di-masa-depan/

[3]Lihat no 2

[4] Lihat no 1

[5] Lihat no 2

[6] Dian kurniati. (2021, Oktober 31). Sri Mulyani Jelaskan Dampak UU HPP dalam Jangka Pendek dan Panjang. Diakses dari https://news.ddtc.co.id/sri-mulyani-jelaskan-dampak-uu-hpp-dalam-jangka-pendek-dan-panjang-34056

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *