Untuk meningkatkan penerimaan PPN, menurut Misbakhun caranya bukan hanya terbatas pada peningkatan tarif. Pemerintah bisa menerapkan skema Goods and Services Tax (GST) yang merupakan PPN berbasis pada tujuan dan dibebankan pada produksi, penjualan, serta konsumsi barang dan jasa yang belum memiliki nilai tambah di setiap tahapan. Skema GST ini telah digunakan oleh berbagai negara misalnya Singapura.
“Nanti lewat GST maka perbedaannya lewat pengkreditan yang lebih selektif. Bisa juga membatasi restitusi PPN untuk korporasi yang menjalin kerja sama dengan proyek-proyek pemerintah,” kata Misbakhun.
Cara lain untuk mengejar penerimaan pajak yakni pemerintah harus berani menarik pajak penghasilan atas perusahaan berbasis digital di luar negeri. Meskipun tidak ada kehadiran fisik di Indonesia, perusahaan digital telah mendapatkan manfaat ekonomi dari dalam negeri.
Senada dengan Misbakhun, Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta agar rencana kenaikan tarif PPN diurungkan. Sebab justru akan menjadi beban masyarakat karena barang/jasa yang akan dibeli akan bertambah mahal. Ia khawatir, hingga tahun depan situasi belum stabil sehingga kenaikan tarif PPN tidak akan memberikan implikasi positif terhadap penerimaan dan menggerakkan perekonomian, tapi justru akan memberi beban baru ke konsumen dan dunia usaha. Ia menilai jika tarif PPN sebesar 15 persen berlaku di tahun depan, maka penjualan barang/jasa akan menurun karena inflasi. Akibatnya, profitabilitas korporasi bisa loyo, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja.
Tauhid menyarankan agar pemerintah mencari cara lain untuk optimalisasi penerimaan perpajakan. Misalnya dengan ekstensifikasi cukai bahan bakar minyak (BBM), minuman berpemanis, dan cukai plastik.
Comments