Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan transaksi kripto dikenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,1 persent. Rencananya, kebijakan ini akan mulai berlaku pada Mei 2022. Adapun saat ini aturan turunan pajak kripto itu tengah dalam proses finalisasi.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama menggarisbawahi, aset kripto dikenakan PPN karena tidak diakui Bank Indonesia (BI) sebagai mata uang, melainkan dianggap sebagai komoditas yang termasuk barang kena pajak. Pengaturan kripto telah diatur dalam Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka. Selain itu, keuntungan atas penjualan dari aset kripto juga dikenakan tarif PPh final.
“PPN final kripto itu hanya 0,1 persen saja, kecil. Kripto itu memang terkena PPN karena bukan uangnya, BI tidak pernah bilang itu alat bayar, Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menganggap itu komoditas,” jelas Yoga dalam Media Briefing DJP 2022, di Senayan, Jakarta, (1/4).
Kendati demikian, ia mengatakan aturan turunan terkait pengenaan PPN dan PPh atas transaksi kripto masih dalam proses finalisasi. Seperti diketahui, pemerintah juga masih merampungkan sejumlah aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) klaster PPN, termasuk rencana PPN atas penyelenggaraan fintech.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, pengenaan tarif PPh maupun PPN final transaksi kripto merupakan upaya pemerintah dalam mendukung prinsip kemudahan. Apalagi, jenis pajak ini terbilang masih baru. Selain itu, pengenaan pajak final juga akan memberikan kepastian hukum, baik bagi pihak pemotong maupun pihak yang memperoleh penghasilan dari transaksi kripto.
Comments