in ,

Selesai Lapor SPT Tahunan, Kena Pajak Lagi?

Selesai Lapor SPT Tahunan
FOTO: IST

Selesai Lapor SPT Tahunan, Kena Pajak Lagi?

Pajak.com, Jakarta – Dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan, pastikan Wajib Pajak telah melaporkan penghasilan atau harta dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Lantas, bila sudah selesai lapor harta pada SPT tahunan dengan benar, apakah dikenakan pajak lagi? Pajak.com akan mengulasnya berdasarkan penjelasan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor dan regulasi yang berlaku.

Neilmaldrin menekankan, harta yang dilaporkan tidak akan dikenakan kembali pajaknya. Sebab pelaporan itu hanya sebatas untuk melihat kewajaran perhitungan pajak dari penghasilan Wajib Pajak.

“Seluruh harta yang dilaporkan tidak ada minimal nilainya. Mulai dari uang tunai, sepeda, handphone, rumah, saham bahkan utang wajib dilaporkan di SPT tahunan, juga pelbagai macam produk investasi yang telah menjadi aset Wajib Pajak,” kata Neil, dikutip Pajak.com (15/3).

Baca Juga  Kriteria Pemotong Pajak yang Wajib Lapor SPT Masa PPh 23/26 dalam Bentuk Dokumen Elektronik 

Apa risiko bila harta tidak dilaporkan dengan benar? 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Terkait dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa ada sanksi administrasi yang harus dipenuhi jika harta yang dilaporkan tidak benar. Atas harta yang ditemukan oleh DJP dan belum dilaporkan dalam SPT tahunan akan dikenakan:

  • Tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 30 persen untuk Wajib Pajak orang pribadi.
  • Ditambah dengan sanksi 200 persen atau 2 persen persen per bulan selama maksimal 24 bulan.

Lantas, apa saja harta yang wajib dilaporkan untuk menghindari sanksi itu? 

Mengacu Peraturan Dirjen Pajak Nomor 19 Tahun 2014 harta yang wajib dilaporkan dalam SPT tahunan orang pribadi adalah:

  • Kas dan setara kas, meliputi uang tunai, tabungan, giro, deposito, dan setara kas lainnya.
  • Piutang.
  • Investasi.
  • Saham.
  • Obligasi.
  • Surat utang.
  • Reksa dana.
  • Instrumen derivatif.
  • Penyertaan modal dalam perusahaan tertutup dan terbuka.
  • Investasi lainnya, seperti kripto dan non-fungible token (NFT).
  • Alat transportasi, seperti sepeda, sepeda motor, mobil, dan alat transportasi lainnya.
  • Harta bergerak lainnya, misalnya logam mulia, batu mulia, barang seni dan antik, kapal pesiar, pesawat terbang, peralatan elektronik (komputer, laptop, dan smartphone), tas, dan furnitur.
  • Harta tidak bergerak, contohnya tanah, rumah, ruko, apartemen, kondominium, gudang, serta harta tidak bergerak lainnya.
Baca Juga  BP2MI Usul Barang Kiriman Pekerja Migran Hingga 2.800 Dollar AS Bebas Pajak

Contoh kasus

Sebagai contoh, Wajib Pajak memiliki harta seharga Rp 100 juta, namun tidak dilaporkan di SPT tahunan. Di sisi lain, DJP mendapatkan data transaksi jual beli tanah, termasuk penerbitan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN/ATR). Maka, ada potensi Wajib Pajak mendapatkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Jika Wajib Pajak tidak dapat memberikan klarifikasi yang memadai, maka atas keberadaan harta tersebut akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dianggap sebagai objek pajak. Artinya, Wajib Pajak diwajibkan membayar sanksi yang ditetapkan dalam UU KUP.

Ditulis oleh

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *