Menu
in ,

Reformasi Pajak Bagaimana Kedepannya?

Reformasi Pajak Bagaimana Kedepannya

FOTO: IST

Pandemi yang melanda Indonesia tak ayal menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor. Kurang lebih 2 tahun sudah pandemi berjalan di negeri ini. Demi menutupi lubang di sana sini, pemerintah melakukan refocusing anggaran negara. Kebutuhan belanja tetap atau bahkan bertambah, tetapi sumber penerimaan berkurang. Disini peran pajak sebagai kontributor terbesar penerimaan negara diuji untuk dapat fleksibel dan adaptif. Penerimaan pajak bekerja keras membiayai berbagai subsidi serta bantuan yang diberikan kepada masyarakat di kala pandemi ini. Berkaca dari pengalaman pandemi 2 tahun kebelakang, sudah selayaknya kita menyadari pentingnya pajak bagi jalannya negara. Lantas bagaimana reformasi pajak kedepannya?

Perpajakan di berbagai negara pasti mengalami reformasi demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, perpajakan di Indonesia telah mengalami 4 kali periode reformasi demi membangun fondasi perpajakan dan perekonomian yang kuat. Periode pertama reformasi dimulai di tahun 1983 yang mengubah mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia dari official assessment ke self assesment. Perubahan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam iklim perpajakan di Indonesia.

Periode kedua berjalan pada rentang 2002 hingga 2008. Salah satu wujud reformasi pada periode ini adalah pembentukan Kantor Wilayah DJP serta segmentasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memudahkan pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak. Kemudian periode ketiga berjalan pada rentang 2009 hingga 2016 yang berfokus pada kemudahan berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian pasca krisis finansial global. Pada periode ini, pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan seperti Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2013 yang isinya mengatur PPh final 1% untuk wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu, serta pengampunan pajak atau tax amnesty jilid I.

Periode terbaru yakni periode keempat berlangsung dari tahun 2016 hingga saat ini, dimana salah satu sebab terbarunya adalah pandemi yang melanda negeri. Lima pilar penting dalam reformasi periode ini adalah penguatan organisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, serta penyempurnaan regulasi.

Kualitas pelayanan dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan ditingkatkan melalui pergeseran dari skema tatap muka menuju daring, sebagaimana terjadi selama pandemi ini. Ereg, eFaktur, e-spt, serta eFiling menjadi beberapa produk DJP untuk mengurangi cost of compliance serta memudahkan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui skema daring. Yang terbaru, pemerintah memperbaiki regulasi perpajakan melalui UU Nomor 2 tahun 2020, UU Cipta Kerja, dan UU Harmonisasi Peraturan. Berbagai perubahan peraturan yang utamanya demi memperluas basis pajak tercantum dalam rangka membentuk fondasi yang kuat dalam iklim perpajakan di Indonesia.

Pandemi tak ayal mempercepat adopsi teknologi di Indonesia dan seluruh penjuru dunia. Sejalan dengan perkembangan tersebut, reformasi perpajakan harus terus dilakukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi pasca dan pembangunan nasional pasca pandemi. Reformasi pajak menjadi salah satu urgensi dalam rangka membangun perekonomian yang kuat untuk dapat bersaing secara global pasca pandemi ini.

Kedepannya, mungkin diperlukan reformasi terkait integrasi perpajakan dalam berbagai lini atau sektor. Integrasi sistem perpajakan, terutama di sektor barang dan jasa menjadi urgensi pasca pandemi ini. Hal ini untuk memudahkan pengawasan transaksi serta tracing aspek perpajakan dalam setiap transaksi, serta pengawasan terhadap kegiatan wajib pajak demi menghindari tax planning dan tax avoidance di tengah digitalisasi perekonomian.

Salah satu teknologi yang menjanjikan digunakan kedepannya adalah teknologi blockchain, sebuah buku besar terdesentralisasi untuk mengintegrasikan berbagai sektor perekonomian di Indonesia. Saat ini, masyarakat mungkin mengetahui teknologi blockchain sebagai basis teknologi dalam dunia cryptocurrency terutama Bitcoin dan Ethereum. Sebagai sebuah buku besar terdesentralisasi, teknologi blockchain potensial untuk digunakan dalam menyimpan database wajib pajak, data modul penerimaan negara (MPN), serta melacak transfer pricing.

Urgensi selanjutnya adalah bagaimana memperbaiki ketimpangan kontribusi sektor usaha terhadap penerimaan pajak dengan kontribusinya terhadap PDB. Misalnya menurut Kepala BKF Febrio Kacaribu, kontribusi sektor real estate terhadap penerimaan pajak di 2019 sebesar 6,77%, sedangkan kontribusinya terhadap PDB mencapai 14,1%. Pada tahun yang sama, kontribusi sektor perdagangan sebesar 13,6% terhadap PDB, dan 18,67% terhadap pajak. Ketimpangan kontribusi ini perlu dikaji apakah beban pajak yang dibebankan kepada setiap sektor telah memenuhi asas keadilan pajak atau fairness. 

Pemerintah nantinya juga perlu mengevaluasi belanja perpajakan, terutama yang dikeluarkan semasa pandemi ini. Selama ini, sebagian besar belanja pajak dikeluarkan untuk membiayai dunia usaha dan fasilitas di bidang PPN. Kedepannya, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang bagaimana belanja perpajakan yang tepat sasaran sesuai dengan roadmap yang telah ditetapkan. Apakah mampu menyerap tenaga kerja, mampu memperluas basis pajak, ataukah mampu mengurangi deadweight loss perekonomian sehingga belanja yang dilakukan tetap efektif dan efisien.

Regulasi terkait ekonomi digital pun perlu dikaji terus menerus demi mengimbangi dengan perkembangan transaksi digital yang sangat pesat. Pemungutan PPN dan Pemotongan PPh 22 final atas transaksi aset kripto menjadi langkah yang bagus demi mengikuti perkembangan digitalisasi ekonomi saat ini. Kedepannya, pemerintah mungkin perlu mengkaji bagaimana skema pemajakan atas Non-Fungible Token (NFT) dan berbagai aset digital lainnya.

DJP juga perlu menyiapkan roadmap pelaksanaan pajak digital sesuai konsensus global perpajakan digital, yang saat ini telah diatur sebagian melalui Perppu nomor 1 tahun 2020. Pemerintah perlu menentukan apakah akan mengambil langkah unilateral atau mengikuti langkah multilateral yang ditetapkan melalui konsensus perpajakan dunia. Pengambilan langkah ini penting, demi memaksimalkan potensi perpajakan atas perusahaan digital multinasional yang selama ini sangat sulit untuk dipajaki.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version