Provisio Consulting Ungkap Aspek Penting untuk Tingkatkan Daya Saing Ekosistem Kripto Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Aset kripto telah berkembang pesat dan mengubah wajah transaksi digital Indonesia, namun tarif pajak yang berlaku saat ini dinilai masih terlalu tinggi, menyebabkan banyak investor kripto beralih melakukan transaksi di platform luar negeri. Dalam wawancara dengan Pajak.com, Associate Manager Provisio Consulting Alvin Arthur Simanjuntak menyoroti urgensi revisi kebijakan pajak kripto dan ungkap aspek penting yang perlu diubah untuk tingkatkan daya saing ekosistem kripto Indonesia.
Awalnya dipandang skeptis, kini aset kripto telah menjelma menjadi instrumen investasi yang menarik perhatian luas, dari investor ritel hingga institusi besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Negara ini, dengan basis pengguna internet yang besar dan komunitas digital yang berkembang, turut merasakan lonjakan minat pada aset kripto selama beberapa tahun terakhir.
Meningkatnya jumlah investor dan melonjaknya nilai transaksi jualah yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk mulai menerapkan pajak kripto pada 2022 melalui Kementerian Keuangan. Namun, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengusulkan agar tarif pajak atas aset kripto ditinjau ulang.
Pasalnya, tarif yang berlaku saat ini dinilai terlalu tinggi, menyebabkan banyak nasabah kripto beralih melakukan transaksi di platform luar negeri yang berbiaya lebih rendah. Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tarif pajak kripto yang ada.
Potret Pertumbuhan Kripto Secara Global dan Perlakuan Pajaknya
Di panggung global, aset kripto telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Sejak kemunculan Bitcoin pada 2009, aset kripto tidak hanya menjadi inovasi penting dalam dunia keuangan digital, tetapi juga sekaligus memperkenalkan teknologi blockchain yang mendasarinya. Teknologi ini telah melahirkan berbagai aplikasi yang mendukung transaksi kripto, menjadikannya semakin populer di kalangan masyarakat global.
Indonesia tak ketinggalan dalam tren ini. Menurut data Bappebti, nilai transaksi kripto di Indonesia dari Januari hingga April 2024 mencapai Rp 211 triliun, meningkat signifikan dari Rp 149 triliun sepanjang tahun 2023. Angka ini menandakan semakin besarnya minat masyarakat terhadap kripto, baik sebagai alat investasi maupun sebagai sarana transaksi digital.
Beberapa negara seperti Jepang, Islandia, dan Filipina telah memajaki transaksi kripto dengan tujuan untuk menciptakan transparansi dan mendukung perkembangan ekosistem industri ini. Di sisi lain, ada negara yang memilih tidak memberlakukan pajak, dengan harapan aset kripto dapat menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan ekonomi digital.
“Hadirnya kripto sebagai fenomena global telah mendorong sejumlah negara untuk mulai memberlakukan kebijakan perpajakan atas aset kripto, terutama karena penggunaannya yang semakin meluas dalam transaksi digital,” kata Alvin kepada Pajak.com, Selasa (1/10).
Di Indonesia, pajak kripto diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2022 (PMK 68/2022) dan PMK 69/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022. Berdasarkan regulasi ini, pemerintah mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi perdagangan aset kripto.
PMK 68/2022 mendefinisikan aset kripto di Indonesia sebagai komoditas tidak berwujud yang menggunakan teknologi kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi untuk verifikasi dan pengamanan transaksi. Alvin menjelaskan bahwa PPh atas transaksi kripto dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dari penjual aset kripto, penyelenggara platform perdagangan elektronik, dan penambang kripto.
“Penghasilan ini mencakup penjualan aset kripto, transaksi yang dilakukan dengan mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto (swap), dan transaksi kripto lainnya,” imbuh Alvin.
Bagi penjual atau yang menyerahkan aset kripto dikenakan pajak PPh dengan dua kriteria. Pertama, apabila perdagangan dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, pajak yang dikenakan adalah 0,1 persen dari nilai perdagangan.
Kedua, jika penjualan dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh adalah 0,2 persen dari nilai perdagangan. Untuk penambang dan jasa penambangan kripto dikenakan tarif PPh final sebesar 0,1 persen dari penghasilan penambangan, di luar PPN.
Untuk PPN, pemerintah mengenakan pajak atas aset kripto yang dianggap sebagai barang kena pajak tidak berwujud, serta atas jasa terkait transaksi kripto, seperti penyediaan sarana elektronik dan jasa verifikasi oleh penambang. Pembeli atau penerima aset kripto dikenakan PPN berdasarkan dua syarat.
Pertama, jika transaksi dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, pembayaran pajaknya adalah 0,11 persen dari nilai transaksi. Kedua, apabila transaksi dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, maka PPN yang dipungut adalah 0,22 persen. Di sisi lain, untuk penambang dan jasa penambangan kripto (mining pool) dikenakan tarif PPN sebesar 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto dan layanan penambangan yang transaksi asetnya telah dikonfirmasi.
Menakar Urgensi Revisi Pajak Kripto: Tarif dan Klasifikasi
Tak tanggung-tanggung, pajak kripto telah menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 875,44 miliar hingga Agustus 2024. Penerimaan ini berasal dari Rp 246,45 miliar pada 2022, Rp 220,83 miliar pada 2023, dan Rp 408,16 miliar sepanjang 2024. Sumber utama pendapatan berasal dari PPh Pasal 22 senilai Rp 411,12 miliar atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan PPN sebesar Rp 464,32 miliar dari transaksi pembelian aset kripto.
Meskipun kebijakan ini mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, Alvin menggarisbawahi kekhawatiran bahwa tarif pajak yang tinggi dapat menghambat perkembangan industri kripto di Indonesia. Menurutnya, meski saat ini tarif pajak belum secara signifikan memengaruhi pertumbuhan, ada indikasi penurunan minat transaksi kripto pada 2023 yang disinyalir akibat tarif pajak yang tinggi. Alvin mencatat, banyak pelaku transaksi kripto di Indonesia yang beralih ke platform global karena tarif pajak membuat exchange dalam negeri kurang kompetitif.
Bappebti pun telah mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang tarif pajak atas aset kripto. Alvin mendukung inisiatif ini seraya menekankan pentingnya penyesuaian tarif untuk menjaga daya saing platform exchange lokal.
“Nasabah selalu mencari biaya trading yang lebih rendah. Jika platform lokal kurang kompetitif, mereka akan beralih ke platform global,” ungkapnya.
Dalam pandangan Alvin, regulasi yang lebih baik juga bisa mengurangi fenomena nasabah yang lebih memilih transaksi di luar negeri. Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan penyesuaian tarif pajak guna mencegah perpindahan nasabah ke platform luar negeri.
Alvin menyarankan pemerintah untuk menyesuaikan tarif pajak agar lebih adil dan relevan dengan kondisi pertumbuhan industri kripto di Indonesia.
“Oleh karena itu, pengenaan tarif pajak akan lebih efektif dan adil apabila pengenaan tarif pajak tersebut disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia,” imbuhnya.
Tidak hanya soal tarif, Alvin juga menyoroti pentingnya pemerintah memperbarui klasifikasi aset kripto sebagai aset keuangan digital. Menurutnya, pendekatan ini bisa membantu Indonesia bersaing dengan negara-negara lain yang memiliki regulasi perpajakan yang lebih fleksibel.
“Saat ini, aset kripto masih dikategorikan sebagai komoditas. Namun, seiring perkembangan teknologi dan dinamika pasar, sebaiknya kripto diklasifikasikan ulang sebagai aset keuangan digital. Dengan perubahan ini, pemerintah dapat menyesuaikan regulasi yang lebih relevan dengan kondisi pasar,” kata Alvin.
Lebih lanjut, Alvin juga menegaskan bahwa pertumbuhan industri kripto memerlukan infrastruktur regulasi yang kuat. Pemerintah perlu menciptakan aturan yang tidak hanya mendukung inovasi, tetapi juga mengakomodasi perkembangan teknologi blockchain yang mendasari transaksi kripto. Salah satu poin pentingnya, memperluas pengenaan pajak terhadap transaksi kripto agar dapat mencakup seluruh jenis kripto—bukan hanya jenis kripto yang sedang populer.
“Dengan semakin banyaknya jenis aset kripto yang muncul, pemerintah harus memperluas pengenaan pajak untuk mencakup seluruh jenis kripto, bukan hanya yang sedang populer saat ini. Hal ini akan menciptakan ekosistem investasi yang lebih sehat dan transparan,” ujar Alvin.
Ke depan, Alvin berharap Pemerintah Indonesia dapat terus mengembangkan regulasi yang lebih rinci terkait perpajakan kripto. Saat ini, regulasi yang ada baru mencakup pengenaan PPh dan PPN atas transaksi aset kripto.
Dibandingkan dengan negara lain, regulasi perpajakan kripto di Indonesia masih kurang mendalam dan belum sepenuhnya mencakup berbagai dinamika yang berkembang di pasar aset digital. Dengan peraturan yang lebih jelas, fleksibel, dan kompetitif, Alvin yakin Indonesia punya potensi untuk menjadi salah satu pemain utama dalam industri kripto dunia.
Pemerintah, menurut Alvin, memiliki peran nan strategis dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan industri aset digital ini secara berkelanjutan.
“Pemerintah diharapkan dapat merancang regulasi yang mendorong inovasi, sehingga dapat menumbuhkan industri kripto di Indonesia,” tutupnya.
Comments