in ,

Provisio Consulting Beri Strategi Mitigasi Risiko Pajak dan Hadapi SP2DK 

Provisio Consulting Strategi Mitigasi Risiko Pajak dan Hadapi SP2DK 
FOTO: IST

Provisio Consulting Beri Strategi Mitigasi Risiko Pajak dan Hadapi SP2DK 

Pajak.comJakarta – Sistem perpajakan self-assessment yang diterapkan di Indonesia memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk mendaftar, menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban pajaknya secara mandiri. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga tetap berwenang untuk memverifikasi laporan tersebut, terutama jika ditemukan indikasi ketidaksesuaian atau potensi risiko pajak. Salah satu instrumen yang sering digunakan DJP dalam proses verifikasi ini adalah Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Tidak dimungkiri bahwa SP2DK kerap kali membuat Wajib Pajak cemas, karena “surat cinta” tersebut menandakan adanya potensi masalah dalam laporan pajak yang perlu diklarifikasi. Kepada Pajak.com, Senior Tax Manager Provisio Consulting Naufal mengungkapkan cara efektif untuk mitigasi risiko pajak, serta strategi terbaik dalam hadapi SP2DK.

Ketentuan dan Alur Penerbitan SP2DK 

SP2DK merupakan surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak untuk meminta klarifikasi atau penjelasan atas data dan/atau keterangan yang dianggap belum sesuai dengan kewajiban perpajakan yang berlaku. Dasar hukum penerbitan SP2DK diatur dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ/2022, yang memperbarui ketentuan sebelumnya di SE-39/PJ/2015.

Naufal mengungkapkan, alur penerbitan SP2DK dimulai setelah KPP menerima hasil analisis data Wajib Pajak. Jika data yang dilaporkan Wajib Pajak tidak konsisten atau menimbulkan potensi pajak yang belum terpenuhi, KPP akan mengirimkan SP2DK. Biasanya, SP2DK disampaikan melalui faksimile, menggunakan jasa pos/kurir/ekspedisi, dan/atau diserahkan langsung pada saat kunjungan Wajib Pajak, paling lama 3 hari sejak tanggal penerbitan SP2DK. Selain itu, SP2DK juga dapat disampaikan secara elektronik.

Setelahnya, Wajib Pajak diberi waktu 14 hari kalender untuk merespons SP2DK dengan tanggapan tertulis beserta dokumen pendukung yang relevan. Apabila tidak ada tanggapan, KPP bisa mengambil langkah lebih lanjut, seperti memberikan perpanjangan waktu, mendatangi Wajib Pajak, atau melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Selanjutnya, proses penelitian dan analisis data dilakukan oleh Account Representative (AR) atau petugas Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, dengan hasil penelitian akan ditindaklanjuti, apakah SP2DK dapat ditutup atau memerlukan pembetulan dari Wajib Pajak.

Baca Juga  Kanwil DJP Jatim III Apresiasi dan Edukasi Penerapan “Core Tax” ke 40 Wajib Pajak Prominen

“KPP melakukan tindak lanjut dari hasil penelitian dan analisis data. Dianggap selesai jika hasilnya sudah sesuai, diputuskan apakah Wajib Pajak melakukan pembetulan, atau semua kewajiban perpajakan sudah dipenuhi Wajib Pajak,” kata Naufal dalam wawancara tertulis kepada Pajak.com, dikutip Selasa (1/10).

Naufal menyebut, semua aktivitas permintaan penjelasan, termasuk SP2DK, laporan hasil, berita acara, dan dokumen lainnya akan diadministrasikan oleh KPP. Di sisi lain, AR atau pelaksana juga wajib membuat Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (LHP2DK) paling lambat 7 hari setelah jangka waktu tanggapan dari Wajib Pajak berakhir.

Menyikapi SP2DK dan Meminimalkan Risiko Pajak

Secara umum, SP2DK sering kali diterbitkan oleh KPP ketika ada ketidaksesuaian data yang dilaporkan Wajib Pajak dengan data yang dimiliki oleh DJP. Menurut Naufal, salah satu penyebab utamanya adalah adanya data perpajakan dari kantor pusat DJP yang perlu diklarifikasi, terutama terkait dengan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Selain itu, SP2DK juga sering muncul karena adanya perbedaan antara laporan pajak bulanan (SPT Masa) dan laporan tahunan (SPT Tahunan PPh badan). Penurunan setoran pajak yang signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, atau kepemilikan aset di luar negeri yang belum dilaporkan secara lengkap, juga menjadi faktor yang dapat memicu diterbitkannya SP2DK.

“Pada dasarnya, setiap Wajib Pajak berpotensi menerima SP2DK dari kantor pajak. Penerbitan SP2DK bertujuan untuk menggali potensi apakah ada kewajiban perpajakan yang belum dibayarkan oleh Wajib Pajak, yang berisiko menambah kewajiban pembayaran pajak,” jelas anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini.

Artinya, imbuh Naufal, setiap Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan, memiliki potensi untuk menerima SP2DK, terutama jika ada indikasi transaksi yang tidak konsisten atau penurunan setoran pajak. Untuk itu, Naufal menekankan bahwa transparansi dalam pelaporan pajak sangat penting agar Wajib Pajak terhindar dari masalah perpajakan yang lebih serius.

Baca Juga  Catat Tanggalnya! Bapenda Jabar Beri Diskon Pajak Kendaraan Bermotor 10 Persen di GIIAS Bandung

Lebih lanjut, Naufal menyoroti pentingnya Wajib Pajak untuk segera merespons SP2DK, dengan memberikan tanggapan tertulis disertai dokumen pendukung yang memadai. Jika Wajib Pajak tidak segera menanggapi atau mengabaikan surat tersebut, proses klarifikasi bisa berlanjut ke tahap pemeriksaan yang lebih mendalam.

“Wajib Pajak diharapkan menanggapi SP2DK secara tertulis dan melampirkan dokumen pendukung. Apabila tidak menanggapi atau tidak dapat menjelaskan dengan baik, KPP dapat melanjutkan ke pemeriksaan pajak,” ucap pemegang izin Praktik Konsultan Pajak C ini.

Selain itu, Naufal menekankan pentingnya Wajib Pajak menyiapkan ekualisasi antara objek pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa dengan biaya atau pendapatan yang tercatat di SPT Tahunan PPh badan. Ekualisasi ini penting untuk memastikan bahwa data yang dilaporkan dalam SPT Masa konsisten dengan data yang dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga meminimalkan potensi ketidaksesuaian yang dapat memicu dilakukannya pemeriksaan.

Biasanya, lanjut Naufal, jangka waktu yang diberikan oleh kantor pajak dalam SP2DK adalah 14 hari sejak diterbitkannya SP2DK tersebut. Apabila membutuhkan waktu tambahan, Wajib Pajak dapat menghubungi pihak AR untuk mengonfirmasikan kapan tanggapan dapat disampaikan. Namun, apabila tanggapan atas SP2DK ditolak oleh DJP, Wajib Pajak harus bersiap menghadapi pemeriksaan lebih lanjut, sehingga penting untuk memastikan semua dokumen pendukung disiapkan dengan baik.

Bangun Hubungan Baik dengan KPP dan Evaluasi Proses SP2DK

Ketegangan yang sering dialami Wajib Pajak ketika menerima SP2DK dapat dikurangi dengan membangun hubungan komunikasi yang baik antara Wajib Pajak dan AR di KPP. Naufal menyarankan agar AR menginformasikan Wajib Pajak terlebih dahulu sebelum mengeluarkan SP2DK, sehingga Wajib Pajak memiliki waktu untuk mempersiapkan dokumen yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang menyebutkan bahwa ketakutan Wajib Pajak terhadap SP2DK bisa berkurang jika prosesnya dilakukan lebih transparan dan komunikatif.

Baca Juga  Kontribusi Pajak Kelas Menengah Hanya 1 Persen ke Kas Negara

Betapa tidak, Wajib Pajak sering kali merasa tertekan karena adanya persepsi bahwa penerbitan SP2DK selalu berujung pada kewajiban pembayaran pajak tambahan. Namun, Naufal menegaskan, jika Wajib Pajak bisa memberikan penjelasan yang memadai dan disertai dengan dokumen pendukung yang lengkap, proses SP2DK bisa selesai tanpa tambahan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, AR diharapkan tidak langsung memberikan tekanan untuk membayar pajak tambahan, melainkan fokus pada klarifikasi data dan keterangan yang ada.

“Pihak AR sebaiknya tidak langsung menyampaikan bahwa untuk closing SP2DK, Wajib Pajak diharuskan melakukan penyetoran pajak tambahan. Apabila Wajib Pajak dapat menjelaskan dan memberikan dokumen pendukung yang cukup, seharusnya SP2DK dapat segera di-close tanpa adanya tambahan pembayaran pajak,” ungkap Naufal.

SP2DK merupakan bagian dari pengawasan DJP, yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua kewajiban pajak dipenuhi Wajib Pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, proses ini tidak harus selalu berakhir dengan beban tambahan jika Wajib Pajak kooperatif dan memiliki bukti yang mendukung laporan pajaknya. Dalam kasus di mana SP2DK tidak ditanggapi dengan baik, DJP berhak melanjutkan ke tahap pemeriksaan pajak yang lebih mendalam, yang tentu bisa menambah risiko finansial bagi Wajib Pajak.

Sebagai penutup, Naufal menyimpulkan dan memberikan beberapa saran penting bagi Wajib Pajak dalam meminimalkan risiko pajak dan menghadapi SP2DK. Pertama, Wajib Pajak harus selalu mematuhi peraturan perpajakan dan melaporkan semua transaksi serta aset dengan transparan.

Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan AR di KPP sangat penting untuk mencegah mispersepsi yang bisa berujung pada penerbitan SP2DK. Ketiga, jika SP2DK sudah diterbitkan, Wajib Pajak harus segera merespons dan menyiapkan dokumen pendukung agar proses klarifikasi dapat berjalan lancar tanpa hambatan. Dengan strategi ini, risiko pajak dapat diminimalkan, dan Wajib Pajak dapat menghadapi SP2DK dengan lebih percaya diri.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *