Kantor Pajak Gencar Terbitkan SP2DK, Manfaatkan Data dari Bank dan Institusi Lain
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah mengakui ketidakpastian perekonomian global akibat dinamika geopolitik turut berimbas pada penurunan kinerja penerimaan pajak nasional. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti (Frans) mengungkapkan beberapa strategi untuk menghadapi potensi shortfall di tahun 2025, salah satunya mengintensifkan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Penerbitan “Surat Cinta” ini dilakukan untuk mengonfirmasi data/informasi yang diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari bank hingga institusi lain.
Hal tersebut diungkapkan Frans dalam acara Taxcussion 2025 yang digelar Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dengan PAJAK.COM bertajuk Finding the Golden Formula: Strategies to Increase Indonesia’s Tax Ratio di D’Maritime Resto & Cafe Cilandak, Jakarta Selatan.
“Kita tidak bisa semata-mata mengandalkan voluntary compliance, bahwa mungkin tidak ada yang sukarela membayar pajak. Makanya, kita coba melakukan pengawasan by system. Kita ada tools SP2DK untuk melakukan pengawasan kepatuhan dan penerimaan. Karena kita sudah menerima data-data dari pihak ketiga, baik dari AEoI [Automatic Exchange of Information], bank, maupun institusi lainnya. Data itu kita akan match-kan dengan laporan SPT [Surat Pemberitahuan] tahunan Wajib Pajak,” jelasnya, dikutip Pajak.com, (24/6/25).
Menurut Frans, proses penelitian dan penyandingan data, pengiriman SP2DK ke Wajib Pajak, tanggapan hingga pembayaran pajak merupakan bagian dari proses pemeriksaan pajak skala kecil.
“Kalau kita bisa sebut [SP2DK] sebagai verifikasi lapangan tanpa harus pemeriksaan secara lengkap,” imbuhnya.
Meski demikian, Frans menggarisbawahi, SP2DK dan pemeriksaan pajak bukan semata-mata sebagai upaya DJP menghimpun penerimaan pajak. Kedua mekanisme tersebut merupakan bentuk dari proses pengawasan demi menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak yang sudah patuh.
“Jangan lupa, kita juga mempunyai tax expenditure atau belanja perpajakan untuk memberikan insentif pajak. Tahun 2023 jumlahnya 1,6 persen dari PDB [produk domestik bruto], itu artinya pajak yang seharusnya kita pungut, tapi kita tidak dipungut karena mengurangi beban Wajib Pajak dan kita harapkan meningkatkan tax ratio,” jelas Frans.
Ia tak menampik bahwa saat ini dinamika perekonomian global turut memengaruhi kondisi Wajib Pajak, terutama perusahaan sektor manufaktur dan komoditas. Dalam proses penyelesaian pemeriksaan, tak sedikit perusahaan yang mengajukan permohonan angsuran pembayaran pajak sehingga berimplikasi pada penurunan penerimaan nasional.
“Dalam proses pemeriksaan pajak, Wajib Pajak mengakui ingin membayar pajak dan mengakui adanya kesalahan pelaporan misalnya. Namun, mereka meminta ingin mencicil karena cash flow-nya tidak ada, karena performa pendapatan perusahaan mereka yang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Makanya, ini kita akan antisipasi juga jangan sampai kita asik sendiri menggenjot penerimaan pajak,” ungkap Frans.
Comments