in ,

Penerimaan Anjlok, Stafsus Sri Mulyani Ungkap DJP Tancap Gas Gali Potensi dan Pemeriksaan Pajak

Penerimaan Anjlok
FOTO: Aprilia Hariani/PAJAK.COM

Penerimaan Anjlok, Stafsus Sri Mulyani Ungkap DJP Tancap Gas Gali Potensi dan Pemeriksaan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2025 mencapai Rp683,3 triliun atau anjlok sebesar 10,14 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Staf Khusus (Stafus) Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti (Frans) mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tancap gas menggali potensi dan pemeriksaan pajak untuk mengoptimalkan penerimaan.

Strategi tersebut diungkapkan Frans dalam acara Taxcussion 2025 yang digelar Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dengan PAJAK.COM bertajuk Finding the Golden Formula: Strategies to Increase Indonesia’s Tax Ratio di D’Maritime Resto & Cafe Cilandak, Jakarta Selatan (21/6/25).

“[Strategi] pertama, kita lakukan penggalian potensi yang sudah ada dengan data yang kita miliki. Contohnya, kita menerima laporan keuangan oleh Kantor Akuntan Publik [KAP], sehingga kita bisa match-kan dengan data yang mereka [Wajib Pajak] laporkan dalam SPT [Surat Pemberitahuan tahunan/masa],” jelasnya, dikutip Pajak.com, (23/6/25).

Secara parsial, Frans menyebut, DJP juga akan menyandingkan data terkait dengan kewajiban pembayaran dan pelaporan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai contoh, data laporan SPT tahunan bagi Wajib Pajak yang memiliki usaha tambang batu bara akan disandingkan dengan pembayaran royalti yang disetorkan melalui Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).

“Antara royalti yang mereka bayarkan, laporkan, dan laporan di SPT juga kita bisa sandingkan. Jadi, sebagian besar yang dilakukan kami adalah menyandingkan data-data tersebut, baik itu data-data dari pemeriksa [pajak], dari swasta, SPT, maupun laporan keuangan. Kita gabung dalam data analitik,” ujar Frans.

Baca Juga  Regulasi Pemeriksaan Pajak Berubah, Ini Strategi Hadapi Kompleksitasnya

Ia menekankan, analisis data tersebut bukan sekadar untuk menghimpun penerimaan pajak, melainkan pula demi menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak yang sudah patuh.

“Penyandingan data juga berfungsi kalau ada lawan transaksi mereka yang ternyata belum punya NPWP [Nomor Pokok Wajib Pajak] misalnya, itu juga bisa sebagai data buat kita. Ini bisa jadi tax base untuk kita,” imbuh Frans.

Ia menambahkan, DJP turut mendorong terbangunnya ekosistem transaksi berbasis non-tunai yang diharapkan dapat menggerus fenomena shadow economy. 

“Kita coba menggunakan data crawling  sehingga para youtuber atau selebgram yang famous yang punya penghasilan tinggi, kita bisa lihat seperti apa mereka menghasilkan pendapatan. Itu sumber baru untuk meningkatkan tax base kita ke depannya,” ungkap Frans. Tak berhenti disitu, DJP juga mengawasi berbagai potensi transaksi digital, seperti kripto.

Strategi kedua, Frans mengungkapkan bahwa DJP akan menggencarkan pengawasan berupa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Disisi lain, kegiatan pemeriksaan bertujuan memberikan deterrent effect bagi Wajib Pajak yang tidak patuh.

“Ini juga menjadi concern kami, tahun 2025 ini kita sedang membuka recruitment lagi bagi pegawai DJP yang ingin menjadi auditor atau fungsional pemeriksa pajak. Tapi perlu dicatat juga bahwa pemeriksaan pajak itu sebenarnya bukan kegiatan yang semata-mata untuk penerimaan, itu menguji kepatuhan,” ujar Frans.

Pada kesempatan yang sama, Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji juga menyoroti masih rendahnya kegiatan pemeriksaan pajak.

“Berdasarkan audit coverage ratio [ACR] rata-rata Wajib Pajak yang diperiksa hanya satu persen dalam setiap tahun. Jadi, dari 100 Wajib Pajak yang di-audit cuma satu. Wajib Pajak orang pribadi itu audit coverage ratio-nya 0,33 persen. Pada tahun 2023 kemarin, Wajib Pajak badan sampai 2,6 persen. Tapi, apakah ini sudah sesuai dengan [standardisasi] internasional belum? Belum. Karena yang bagus tiga hingga lima persen [menurut] IMF [International Monetary Fund],” ungkap Bawono. 

Baca Juga  Pemeriksaan Pajak Bisa Datang Tak Terduga, TaxPrime Sarankan Ini!

Meski demikian, ia melihat adanya tren peningkatan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP, terlebih dengan adanya sistem Compliance Risk Management (CRM).

Adapun berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 24/Pj/2019, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh yang meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak serta evaluasinya sehingga menjadi kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.

“Kita harus melihat apakah betul sudah ada law enforcement dari DJP. Selain itu, kita juga punya masalah literasi perpajakan,” imbuh Bawono.

Akademisi Universitas Trisakti Sabar L. Tobing juga menggarisbawahi pentingnya peningkatan literasi perpajakan untuk mendongkrak rasio pajak. Selain itu, ia juga mendorong seluruh pihak membantu pemerintah meningkatkan kepercayaan (trust) kepada Wajib Pajak melalui penyuluhan dan pelayanan serta penyempurnaan Coretax.

“Sebagai akademisi dan praktisi yang sudah membantu lebih dari 80 ribu perusahaan di Indonesia, sekitar 80 persen dari mereka tidak mengerti bagaimana cara mematuhi peraturan perpajakan, sebagai pebisnis mereka fokus pada usahanya. Maka, di sini peran akademisi, praktisi, konsultan pajak dibutuhkan untuk meningkatkan literasi perpajakan,” ujar Sabar.

Di samping itu, menurutnya, trust Wajib Pajak harus terus ditingkatkan dengan segera melakukan penyempurnaan Coretax.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *