in ,

Pengamat Pajak Tanggapi Pembahasan Cawapres tentang Rasio Pajak dan Badan Penerimaan Negara

Pembahasan Cawapres tentang Rasio Pajak
FOTO: Hive Five 

Pengamat Pajak Tanggapi Pembahasan Cawapres tentang Rasio Pajak dan Badan Penerimaan Negara

Pajak.com, Jakarta – Pembahasan Debat Perdana Calon Wakil Presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming Raka dengan Mahfud MD tentang rasio pajak (tax ratio) dan badan penerimaan negara menimbulkan sejumlah tanggapan dari berbagai kalangan. Salah satunya, dari praktisi dan pengamat pajak sekaligus Founder dan CEO Hive Five) Sabar Lumban Tobing.

Seperti diketahui, awal mula pembahasan dimulai ketika paslon nomor urut 3 (Mahfud MD) mempertanyakan target rasio pajak atau rasio penerimaan negara yang dipaparkan paslon nomor urut 2 (Gibran) pada Debat Perdana Cawapres, pada (22/12). Gibran menyebutkan gagasannya untuk menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB)—meskipun di akhir sesi ia meluruskan bahwa angka 23 persen sebagai rasio penerimaan pajak terhadap PDB.

Menanggapi pernyataan itu, Mahfud MD menganggap bahwa penetapan target rasio pajak sebesar 23 persen tidak realistis dan dikhawatirkan memicu agresivitas dalam menghimpun penerimaan pajak sehingga mengharuskan pertumbuhan ekonomi yang ofensif. Padahal, basis kepatuhan Wajib Pajak kini berada kisaran 86 persen, sementara rasio pajak Indonesia pun masih bertengger pada level 10,41 persen terhadap PDB. Capaian rasio pajak itu paling rendah dibandingkan negara ASEAN dan G20.

“Rasio pajak adalah persoalan yang cukup penting, sebab berkaitan dengan kesehatan anggaran negara. Namun demikian, sepanjang sejarah (Pemilu), baru kali ini isu tentang rasio pajak menjadi perdebatan yang cukup serius. Rasio pajak merupakan indikator yang signifikan dalam konteks ekonomi suatu negara, mengukur proporsi pendapatan pajak terhadap PDB nominal negara tersebut,” ujar Sabar kepada Pajak.com, (28/12).

Dengan demikian, ia menekankan bahwa rasio pajak memiliki peran vital dalam penilaian kinerja penerimaan pajak serta mencerminkan kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai kebutuhan publik dengan sumber daya dalam negeri.

Baca Juga  Presiden Jokowi Buka Suara Soal Kebocoran 6 Juta Data NPWP

“Semakin tinggi rasio pajak suatu negara, semakin besar ketergantungan pemerintah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan meningkatnya rasio pajak, ketergantungan pada pembiayaan melalui utang pun dapat ditekan,” ungkap Sabar.

Ia menjelaskan, proses perhitungan rasio pajak melibatkan dua pendekatan, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit berarti rasio pajak diterapkan pada saat tertentu—pembilangnya mencakup penerimaan pajak pusat, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea dan Cukai, serta pajak lainnya.

Sementara dalam arti luas, rasio pajak akan seperti yang disarankan oleh Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yaitu pembilangnya mencakup seluruh penerimaan negara, baik dari tingkat pusat maupun daerah, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari royalti sumber daya alam (SDA).

“Saat ini, Indonesia telah mulai mengadopsi perhitungan rasio pajak dalam arti luas, meskipun belum sepenuhnya, karena komponen pajak daerah belum dimasukkan dalam perhitungan tersebut. Berbagai faktor memengaruhi besarnya rasio pajak suatu negara, terbagi menjadi dua kategori, yaitu faktor makro dan faktor mikro,” ungkap Sabar.

Faktor makro melibatkan aspek, diantaranya tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan efektivitas administrasi pajak. Sementara faktor mikro melibatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, kerja sama dan koordinasi antarlembaga pemerintah, serta pemahaman bersama antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

“Namun, rasio pajak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti regulasi dan penegakan hukum, sehingga menetapkan dan mencapai target rasio pajak bukanlah tugas yang sederhana. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan pajak, dengan menyadari bahwa terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi potensi penerimaan pajak, dan sebaliknya,” imbuh Sabar.

Baca Juga  Kontribusi Pajak Kelas Menengah Hanya 1 Persen ke Kas Negara

Maka, menurut analisis Sabar, dalam menghadapi aneka tantangan itu, pemerintah perlu mengandalkan kebijakan teknis yang sesuai dengan peraturan, seperti perluasan basis pajak melalui integrasi Nomor Identifikasi Kepabeanan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), peningkatan aktivitas ekstensifikasi pajak, optimalisasi implementasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP)/core tax system, dan penegakan hukum perpajakan yang adil. Secara simultan, insentif fiskal yang terarah dan terukur juga perlu diberikan pemerintah untuk mencapai target rasio pajak.

“Mencapai rasio pajak yang ideal memerlukan sinergi yang erat antara berbagai pihak yang terlibat, terutama antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Wajib Pajak. Salah satu kendala utama yang dihadapi saat ini adalah tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak yang masih rendah, yang merupakan faktor kunci dalam mencapai kepatuhan pajak yang lebih baik,” ungkapnya.

Badan penerimaan negara

Selain itu, Sabar berpandangan, pendirian badan penerimaan negara yang langsung dikomandoi oleh presiden dapat dipertimbangkan dengan berbagai alasan yang berkaitan dengan manajemen ekonomi, efisiensi, dan transparansi.

Setidaknya, ia merangkum lima keuntungan bila badan penerimaan negara didirikan. Pertama, koordinasi yang lebih efektif. Sebab badan penerimaan negara yang langsung diawasi oleh presiden dapat memastikan koordinasi yang lebih efektif antara lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan pendapatan negara.

“Koordinasi yang baik dapat membantu mencegah tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, serta memastikan efisiensi dalam pengumpulan pajak dan penerimaan negara lainnya,” kata Sabar.

Baca Juga  Cairkan JHT dari BPJamsostek Kena Pajak Progresif? Pahami Ketentuan Terbarunya

Kedua, tanggung jawab yang jelas. Dengan berdirinya badan penerimaan negara yang langsung di bawah pengawasan presiden, maka tanggung jawab dan akuntabilitas akan menjadi lebih jelas.

“Presiden dapat lebih mudah memantau dan menilai kinerja badan tersebut dalam mencapai target penerimaan pajak dan pendapatan negara lainnya,” tandas Sabar.

Ketiga, kepentingan nasional yang lebih besar. Badan penerimaan negara yang dikomandoi oleh presiden dapat lebih fokus pada kepentingan nasional dan strategi ekonomi yang luas.

“Hal ini dapat membantu dalam mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka panjang,” tambah Sabar.

Keempat, transparansi dan akuntabilitas. Badan penerimaan negara yang berada di bawah pengawasan langsung presiden akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengumpulan maupun pengelolaan pendapatan negara. Dengan begitu, potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat lebih diminimalisasi.

Kelima, respons yang cepat terhadap perubahan ekonomi. Sabar meyakini, presiden sebagai pemimpin negara yang memiliki kewenangan tertinggi akan merespons dengan cepat terhadap perubahan ekonomi dan situasi keuangan yang mungkin memerlukan penyesuaian dalam kebijakan pajak maupun penerimaan negara.

“Dengan badan yang langsung di bawah pengawasan presiden, perubahan kebijakan dapat dilakukan lebih efisien. Namun, penting untuk diingat bahwa pendekatan ini juga harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan kendali yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.

Sabar mengingatkan kembali bahwa keberhasilan badan penerimaan negara yang langsung dikomandoi oleh presiden akan sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan independensi dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan nasional serta pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *