in ,

Pemerintah Kaji E-commerce Sebagai Pemungut Pajak

E-commerce Sebagai Pemungut Pajak
FOTO: IST

Pemerintah Kaji E-commerce Sebagai Pemungut Pajak

Pajak.com, Jakarta – Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin Manansang mengungkapkan, pemerintah masih mengkaji rencana penunjukkan e-commerce sebagai pemotong/pemungut pajak. Ia memastikan, arah kebijakan perpajakan yang ditetapkan pemerintah akan selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi usaha mikro kecil menegah (UMKM).

Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2022 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk menunjuk perusahaan penyelenggara PMSE sebagai pemungut Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dengan tarif 11 persen atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Adapun kriteria perusahaan yang dipilih, antara lain memiliki nilai transaksi melebihi Rp 600 juta setahun atau Rp 50 juta dalam sebulan.

“Pasal 32A Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah memberikan ruang bagi pemerintah menunjuk pihak ketiga sebagai pemotong dam pemungut pajak. Tapi wacana penunjukkan e-commerce sebagai pemotong atau pemungut pajak tidak boleh berdampak pada pelaku UMKM yang menjadi pedagang dalam platform tersebut, UMKM yang manfaatkan marketplace dalam perluas bisnis mereka,” ujar Edwin dalam Diskusi Publik: Arah Kebijakan Pajak E-Commerce: Menimbang Opsi Penunjukan Marketplace Sebagai Pemungut Pajak yang diselenggarakan Indonesia Services Dialog (ISD), dikutip Pajak.com (25/9).

Baca Juga  Kanwil DJP Jakut Catatkan Penerimaan Rp 4,32 T per 31 Januari 2024

Ia mengungkapkan, wacana penunjukkan e-commerce sebagai pemotong/pemungut pajak bermula dari semangat menjaga kedaulatan dan kemandirian bangsa. Kebijakan perpajakan harus mencakup semua aktivitas perdagangan, termasuk yang melalui sistem elektronik. Artinya, pemajakan tidak hanya berlaku kepada pelaku usaha off-line. 

“UMKM menjadi mesin penting dalam mendorong perekonomian nasional karena 99 persen  pelaku usaha Indonesia adalah UMKM. Jumlahnya mencapai 65 juta unit dan kontribusinya terhadap 57 persen terhadap (Produk Domestik Bruto), serta memiliki kemampuan menyerap 96 persen total tenaga kerja. Kondisi tersebut patut menjadi pedoman dalam menentukan arah kebijakan perpajakan,” ungkap Edwin.

Ia memastikan, pemerintah akan terus mendorong industri e-commerce dengan menerbitkan regulasi yang adil, kompetitif, berkepastian hukum; disertai pengembangan sistem yang canggih. Kemudian, mekanisme pemanfaatan teknologi yang optimal juga mampu mengintegrasikan kebutuhan, sehingga memudahkan masyarakat melakukan kewajiban perpajakannya.

“Dengan hal itu penciptaan ekosistem ekonomi digital dan perpajakan yang sehat memerlukan koordinasi dan kolaborasi yang solid antar pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Perdagangan melalui sistem elektronik merupakan keniscayaan yang harus kita kelola degan baik,” ujar Edwin.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Peneliti Indonesian Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho menjelaskan, Pasal 32A UU HPP bisa menunjuk tiga pihak untuk pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak. Pihak ketiga dalam hal ini bisa marketplace/e-commerce, fintech, bahkan content creator. Namun, dimensi dari aturan itu masih prematur karena status dari merchant rata-rata merupakan pelaku UMKM, sehingga belum dapat ditentukan termasuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau bukan.

Baca Juga  Keuntungan Memadankan NIK dan NPWP bagi Wajib Pajak

“Pertanyaannya, apakah seller di marketplace ini layak atau tidak dipungut pajak? Mereka harus berstatus PKP jika akan dikenai pajak. Selain itu, banyak pelaku UMKM yang bergabung di lebih dari satu marketplace. Hal ini juga akan menimbulkan multitarif dalam pengenaan pajak kepada pelaku UMKM. Perlu pendalaman dan perlu perubahan dalam norma, baik dalam PPh (Pajak Penghasilan) atau PPN,” ujar Adrianto

Sementara, Ketua Umum idEA Bima Laga berharap, pemerintah tidak mendadak menetapkan kebijakan penunjukkan pemungutan pajak bagi e-commerce. Pasalnya, diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan edukasi kepada para pelaku UMKM.

“Perlu diketahui bahwa baru saja disahkan Undang-Undang PDP (Perlincungan Data Pribadi) yang tidak memiliki waktu dua tahun untuk penerapannya. Itu pun setelah undang-undang disiapkan, kita juga harus memberikan edukasi kepada para pelaku. Begitu juga dengan Undang-Undang HPP ini, bagaimana nantinya kita bisa memberikan waktu yang cukup dalam penerapannya,” kata Bima.

Baca Juga  Kurs Pajak 20 - 26 Maret 2024

Di sisi lain, Kepala Subdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bonarsius Sipayung memastikan, penunjukkan e-commerce sebagai pemungut pajak belum akan ditetapkan dalam waktu dekat. DJP mengakui, terdapat sejumlah tantangan dan pematangan regulasi secara mendalam.

“DJP pasti akan membuka diskusi dan pembahasan kepada seluruh pelaku UMKM dan para pelaku e-commerce terkait kebijakan ke depannya. Pemerintah akan memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu kinerja dari e-commerce dan juga pelaku usaha. Nah, ketika pasal baru muncul, bagaimana status PKP dengan kewajibannya? Kewajiban para PKP tetap normal, sesuai ketentuan. Saat jual barang, dia wajib memungut PPN ditandai dengan memungut faktur,” kata Bonarsius.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *