in ,

BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Dampak Bagi Masyarakat

BI Naikkan Suku Bunga Acuan
FOTO: IST

BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Dampak Bagi Masyarakat

Pajak.com, Jakarta – Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk naikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen. Sebelumnya, BI telah menaikkan suku bunga acuan bulan Agustus 2022 sebesar 25 bps.

Kenaikan bulan lalu itu menjadi peningkatan pertama, karena sejak Februari 2021 suku bunga acuan bergerak di level 3,5 persen demi menjaga pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Lantas, apa dampak kenaikan suku bunga ini bagi masyarakat?

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan adalah sebagai langkah front-loaded, pre-emptive, dan forward looking dalam menurunkan ekspektasi inflasi maupun inflasi inti. BI memproyeksi tingkat inflasi hingga akhir 2022 sebesar 6 persen, sedangkan inflasi inti diprediksi berada pada level 4,6 persen akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Sebagai informasi, apa itu inflasi? mengutip laman resmi BI, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Baca Juga  Navigasi Keuangan Keluarga di Era Kenaikan Harga Pangan

Sementara, apa itu inflasi inti? Inflasi inti adalah inflasi yang komponen di dalamnya cenderung tetap dan dipengaruhi faktor fundamental, seperti kenaikan harga barang dan jasa, kecuali dalam sektor makanan dan energi.

“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen, suku bunga deposit facility sebesar 3,5 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 5 persen. Ini untuk memastikan inflasi inti kembali ke kisaran sasaran, yaitu 3 persen plus minus 1 persen pada paruh kedua tahun 2023,” tutur Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI September 2022, yang dikutip Pajak.com (23/9).

Ia memastikan, peningkatan suku bunga acuan ini dilakukan BI untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, sehingga dapat sejalan dengan nilai fundamentalnya di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

“Saat ini sudah ada peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat. Meski begitu, Bank Indonesia akan tetap memperkuat bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi nasional,” ujar Perry.

Baca Juga  KEK Likupang Siap Hadirkan “Sustainable Tourism”

Kepada Pajak,com, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, masyarakat akan tertimpa beban ganda akibat kenaikan suku bungan acuan itu. Di sisi lain, masyarakat harus mengeluarkan biaya hidup yang lebih mahal setelah naiknya harga BBM dan pangan karena tertekan oleh inflasi.

“Padahal ekonomi belum pulih seperti masa sebelum pandemi, ada yang gajinya masih belum dibayar penuh, bonusnya belum cair karena pandemi. Dari sisi suku bunga acuan naik, bakal menciptakan kenaikan suku bunga pinjaman. Hal ini membuat masyarakat membayar cicilan jauh lebih mahal, baik kredit yang sifatnya konsumsi maupun produktif,” ungkap Bhima melalui pesan singkat, (23/9).

Secara spesifik, dampak dari naiknya bunga acuan terhadap pinjaman terjadi terutama pada sektor properti. Akan terjadi penyesuaian harga properti semua jenis, baik residensial maupun komersial. Karena bunga pinjaman naik, developer dan kontraktor juga harus menyesuaikan harga ke konsumen akhir.

“Suku bunga kredit konstruksi diperkirakan mulai alami kenaikan. Proyeksinya kenaikan harga produk konstruksi akibat penyesuaian bunga sekitar 1 persen -2,5 persen. Dan ini belum menghitung variabel naiknya harga material dan ongkos logistik, serta biaya tenaga kerja di sektor konstruksi,” ujar Bhima.

Baca Juga  Wamenkeu: Hampir Semua Investor Eropa Tekankan Prinsip ESG dan Ekonomi Hijau 

Kenaikan bunga pinjaman dan BBM juga akan menimbulkan keraguan masyarakat untuk membeli dan mencicil kendaraan. Hal ini akan memantik kelesuan sektor otomotif yang penjualannya sudah turun sejak 2014, yaitu sebesar 14 persen. Lesunya sektor properti dan otomotif bakal memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang berujung pada berkurangnya penerimaan pajak.

“Untuk memitigasi itu, BI tidak bisa bekerja sendiri. Perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah, utamanya dengan cara penebalan perlindungan sosial. Saya menilai, kompensasi bantuan sosial dan BSU (bantuan subsidi upah) akibat dampak kenaikan BBM saja kecil, masa Rp 24 triliun? Harusnya bisa ditambah (anggarannya). Perlu juga adanya relaksasi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 11 persen diturunkan jadi 8 persen, mendorong penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan dan pertanian. Jadi insentif harus banyak diberikan pada kedua sektor ini,” ungkap Bhima.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *