in ,

Pajak Aset Kripto dan Fintech Hasilkan Rp 339,71 M

Pajak Aset Kripto dan Fintech
FOTO: IST

Pajak Aset Kripto dan Fintech Hasilkan Rp 339,71 M

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pajak aset kripto dan financial technology (fintech) mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 339,71 miliar hingga akhir Oktober 2022. Seperti diketahui, kedua pajak ini diberlakukan pada 1 Mei 2022, namun mulai dibayarkan dan dilaporkan pada Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengelaborasi, pajak aset kripto menghasilkan penerimaan sebesar Rp 191,11 miliar, meliputi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Rp 91,40 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp 99,71 miliar. Sementara, pajak fintech mencatatkan penerimaan sebesar Rp 148,60 miliar, yang terdiri dari PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak dalam negeri dan badan usaha tetap sebesar Rp 101,39 miliar, serta PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak luar negeri Rp 47,21 miliar.

Baca Juga  AHY Ungkap Strategi Kementerian ATR/BPN Kejar Target PNBP Rp 3,2 T di 2025 

“Penerimaan ini dihasilkan dalam waktu yang masih sangat relatif singkat, Juni sampai dengan 31 Oktober 2022,” kata Sri Mulyani dalam Konfrensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) yang berlangsung secara virtual, dikutip Pajak.com (26/11).

Seperti diketahui, pajak aset kripto dan fintech merupakan bagian dari agenda Reformasi Perpajakan Jilid III pada pilar regulasi, yang kemudian diimplementasikan melalui payung hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Secara rinci, regulasi pengenaan pajak atas transaksi aset kripto dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68 Tahun 2022. PPh yang dipungut atas transaksi aset kripto adalah PPh Pasal 22 yang bersifat final. Bila perdagangan aset kripto dilakukan melalui platform yang terdaftar Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 0,1 persen. Jika perdagangan dilakukan melalui platform yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh Pasal 22 final yang berlaku atas transaksi itu adalah sebesar 0,2 persen.

Baca Juga  Presiden Jokowi Buka Suara Soal Kebocoran 6 Juta Data NPWP

Untuk pengenaan PPN, penyerahan aset kripto melalui platform yang terdaftar Bappebti dikenai PPN sebesar 1 persen dari tarif umum atau sebesar 0,11 persen. Kemudian, bila penyerahan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN dikenakan menjadi dua kali lipat, yakni 2 persen dari tarif umum atau sebesar 0,2 persen.

Sementara itu, mekanisme pengenaan pajak fintech tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Regulasi ini menetapkan PPh dikenakan kepada pemberi pinjaman dan penyelenggara layanan pinjaman on-line (pinjol).

Adapun pajak yang dikenakan kepada pemberi pinjaman dan atau penyelenggara pinjol adalah PPh 23 atau PPh 26. PPh 23 dikenakan kepada pemberi pinjaman dan/atau perusahaan pinjol di dalam negeri (Wajib Pajak dalam negeri) serta memiliki bentuk usaha tetap dikenakan tarif 15 persen dari jumlah bruto bunga yang didapat dari nasabah. Sedangkan, PPh 26 dikenakan kepada pemberi pinjaman berbasis luar negeri (Wajib Pajak luar negeri) yang bukan berbentuk usaha tetap dengan tarif sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga yang didapat dari nasabah.

Baca Juga  Genjot Pendapatan Daerah, Pemkot Singkawang Naikkan NJOP PBB

Selain kedua pajak aset kripto dan fintech, UU HPP juga mengatur pengenaan PPN PMSE dan menyesuaikan tarif PPN menjadi 11 persen. Sri Mulyani mengungkapkan, dampak penyesuaian tarif PPN mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp 43 triliun sejak diberlakukan 1 April 2022.

“Penyesuian tarif PPN ini menghasilkan tambahan penerimaan dan kelihatan pada akhir Oktober mencapai Rp 7,62 triliun, jauh lebih kuat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya,” ujar Sri Mulyani.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *