in ,

3 Alasan Asean-6 Turunkan Defisit Fiskal pada 2023

3 Alasan Asean-6 Turunkan Defisit Fiskal
FOTO: IST

3 Alasan Asean-6 Turunkan Defisit Fiskal pada 2023

Pajak.com, Jakarta – Setelah dua tahun mengambil kebijakan fiskal yang akomodatif untuk menghadapi dampak COVID-19, tahun ini dan depan negara-negara Asean-6 harus kembali melakukan konsolidasi fiskal. Bank DBS memperkirakan, setidaknya ada 3 alasan untuk Asean-6 harus turunkan defisit fiskal pada 2023.

Pertama, menurut Bank DBS, hal ini untuk menjaga kebijakan fiskal selaras dengan perubahan kebijakan moneter (kebijakan suku bunga acuan rendah). Kedua, untuk melengkapi upaya menekan inflasi dan ekspektasi inflasi; dan ketiga untuk menjaga agar kondisi fiskal dan posisi utang tidak memburuk seiring dengan kenaikan bunga pinjaman.

Ekonom Senior Zona Eropa, India, dan Indonesia Radhika Rao melihat, pembukaan kembali serta kenaikan harga komoditas dan tingkat pertumbuhan nominal yang tinggi membantu kinerja menjadi penopang pendapatan sebagian besar negara Asean-6 tahun ini. Hal ini mampu mengurangi pengeluaran paket bantuan pada masa pandemi secara bertahap dan kondisi keuangan negara. Namun, dinamikanya akan berbeda pada tahun depan.

Baca Juga  SMF Dorong Pembiayaan Perumahan Berkelanjutan dan Pengembangan ESG

“Negara Asean-6 akan menghadapi masalah pelik tahun depan terkait kecepatan penurunan defisit karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat. Defisit diperkirakan tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi,” kata Rao dalam keterangan tertulis Jumat (25/11/22).

Upaya konsolidasi di kawasan dapat dilihat dari pergeseran ke dorongan fiskal negatif pada 2022. Hal ini diukur oleh perubahan neraca fiskal primer yang disesuaikan secara periodik. Menurut Rao, perbaikan neraca fiskal masih jauh jika dibandingkan dengan sikap ekspansif yang diambil selama pandemi. Bank DBS memperkirakan dorongan fiskal kawasan akan menurun hingga 2023, kecuali Vietnam yang telah meluncurkan paket pemulihan ekonomi pada awal 2022 dan berlangsung hingga tahun depan.

Meski meraih pendapatan tinggi pada 2022 dari pemulihan sektor swasta dan meningkatnya arus konsumsi dan perdagangan, tantangan pendapatan akan muncul kembali pada 2023. Penurunan pertumbuhan ekonomi berpeluang menimbulkan risiko terhadap pendapatan (pembilang) serta pertumbuhan PDB nominal (penyebut) di tengah tantangan eksternal global lebih besar. Kondisi ini akan lebih sulit bagi bisnis, konsumen, perdagangan, serta pengumpulan pajak terkait.

Baca Juga  Jokowi Resmikan Bandara Panua Pohuwato di Gorontalo

Pendapatan pajak sebagai bagian dari PDB mengalami penurunan struktural di seantero kawasan sejak sebelum pandemi dan selama dasawarsa terakhir, kecuali Filipina. Setiap negara mengambil pendekatan berbeda untuk mengatasi hal ini. Indonesia dan Malaysia mencatatkan pendapatan pajak terendah sebagai persentase PDB di antara negara lain. Porsi Indonesia mencapai sekitar 10 persen dari PDB, sementara Malaysia berkisar 11 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Namun demikian, Indonesia tengah berupaya untuk mengimbangi kelemahan ini. Misalnya dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun ini, pajak tidak langsung, seperti cukai rokok, pajak karbon, bahkan skema amnesti pajak. Namun, basis pajak lebih luas akan diperlukan untuk meningkatkan rasio secara struktural.

Rao juga melihat, Indonesia untuk sementara membekukan ambang batas defisit dan utang yang diamanatkan sejak 2020, selama masa pandemi, tetapi berkomitmen untuk mengembalikan ambang batas tersebut pada 2023. Oleh karena itu, defisit tahun depan diproyeksikan sebesar -2,84 persen dari PDB, di bawah batas atas 3 persen dari perkiraan -3,5 persen dari PDB tahun ini. Asumsi ekonomi untuk PDB 2023 dan inflasi masing-masing sebesar 5,3 persen dan 3,6 persen.

Baca Juga  Kemenves/BKPM Terbitkan 8 Juta Nomor Induk Berusaha

Sementara ekspektasi pertumbuhan tertahan, perkiraan inflasi kemungkinan bisa di atas target. Perhitungan menunjukkan akan ada lonjakan pendapatan sebesar 9 persen dibandingkan dengan tahun 2022, terutama dalam hal pengumpulan pajak. Sementara penurunan dalam penerimaan bukan pajak telah diperhitungkan. Diperkirakan, pajak atas pendapatan berbasis sumber daya yang sebelumnya melonjak akan mengalami penurunan karena harga global turun dari tingkat tertinggi.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *