Kewajiban Perpajakan “Freelancer”
Pajak.com, Jakarta – Beberapa waktu lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengaku masih kesulitan untuk mengumpulkan pajak dari para pekerja lepas atau freelancer di Indonesia. DJP melaporkan, tahun lalu rasio kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi karyawan mencapai 98,73 persen. Sementara rasio kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi non-karyawan (termasuk freelancer) hanya sebesar 45,53 persen. Nah, sebenarnya apa saja kewajiban perpajakan freelancer dan bagaimana cara membayarkannya?
Sebagai informasi, freelancer adalah istilah yang disematkan untuk para pekerja lepas. Pekerja lepas ini biasanya tidak terikat dengan suatu perusahaan saja. Seorang freelancer umumnya mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dari sejumlah perusahaan dalam satu waktu. Sama seperti pekerja karyawan perusahaan, freelancer juga memiliki kewajiban membayar pajak.
Sebab, pekerjaan freelance tetap menghasilkan uang dari pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, pemerintah tetap mengenakan pajak penghasilan kepada freelancer dan wajib melaporkan penghasilannya setiap tahun seperti pekerja yang lain. Namun, cara menghitung pajak penghasilan freelance berbeda.
Wajib Pajak yang berstatus freelancer maupun karyawan tetap sama-sama dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, yakni Pasal 21 sebagai Wajib Pajak dalam negeri dan Pasal 26 sebagai WP Warga Negara Asing (WNA) yang bekerja di Indonesia.
Adapun objek PPh Pasal 21, berdasarkan UU PPh antara lain adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima industri secara teratur berupa uang industri atau penghasilan sejenisnya; penghasilan sehubungan dengan PHK dan penghasilan sehubungan dengan industri yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat industri, tunjangan hari tua; penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah industri atau upah yang dibayarkan secara bulanan; imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; dan imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun.
Sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, tarif PPh orang pribadi Pasal 21 adalah menggunakan tarif progresif, yang akan dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak. Ini berlaku bagi freelancer maupun karyawan tetap.
Tarif progresif PPh orang pribadi adalah 5 persen untuk penghasilan kena pajak hingga Rp 50.000.000 per tahun. Tarif 15 persen untuk penghasilan kena pajak Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 per tahun. Kemudian, tarif 25 persen untuk penghasilan kena pajak Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 per tahun; dan 30 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500.000.000 per tahun. Bagi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dari tarif tersebut di atas akan ditambah lagi dengan tarif 20 persen lebih tinggi.
Sementara itu, tarif PPh 26 yang dikenakan kepada Wajib Pajak orang pribadi WNA sebesar 20 persen dari penghasilan bruto.
Bagi freelancer juga akan dikenakan PPh 21 atas jasa sebesar 2,5 persen jika memiliki NPWP dan 3 persen apabila tidak punya NPWP yang dipotong oleh perusahaan/badan lainnya yang memberikan honor/upah tersebut. Dengan kata lain, pajak penghasilan freelancer ini juga disetorkan oleh badan/perusahaan pengguna jasa freelancer tersebut ke kas negara. Sehingga kewajiban freelancer ini hanya melaporkan SPT pajaknya dengan formulir 1770 sebagai bukti bahwa dirinya telah dipotong atau dipungut PPh oleh pengguna jasa.
Comments