in ,

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Perlu Pertimbangkan Tingkat Kepatuhan

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen
FOTO: Tiga Dimensi

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Perlu Pertimbangkan Tingkat Kepatuhan

Pajak.com, Jakarta – Pro dan kontra masih akan menyelimuti rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku paling lambat pada tahun 2025. Tak sedikit ekonom menilai, kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini tidak tepat diterapkan di tengah masa pemulihan. Di sisi lain, pemerintah menganggap, penetapan PPN 11 persen sampai 12 persen masih di bawah rata-rata tarif dunia yang sebesar 15 persen. Tax Compliance and Audit Manager TaxPrime Januar Ponco berpandangan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia sebagai dasar menaikkan tarif PPN.

Ponco terlebih dahulu membandingkan tarif PPN di negara-negara Asia Tenggara. Diketahui, bahwa saat ini Indonesia menempati urutan ke-2 tertinggi untuk tarif PPN (11 persen), setelah Filipina yang memiliki tarif PPN 12 persen. Sementara, Laos, Kamboja, dan Malaysia memberlakukan tarif PPN 10 persen. Bahkan, Thailand dan Singapura bertarif PPN sebesar 7 persen.

“Kondisi tarif yang berbeda-beda di tiap negara juga memperhitungkan kondisi ekonomi masyarakatnya, daya beli masyarakat, inflasi hingga pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jadi, apabila tarif PPN di Indonesia ingin dibandingkan dengan negara lain, maka rasanya tidak cocok. Sebab tiap-tiap negara memiliki kondisi yang berbeda-beda. Jika ingin dibandingkan, maka bukan tarifnya yang dibandingkan, melainkan tingkat kepatuhan pajak masyarakat dan penegakan hukumnya yang harus dibenahi terlebih dahulu oleh Indonesia,” ujar Ponco kepada Pajak.com, di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Kuningan Jakarta, (17/4).

Bila membandingkan rasio pajak di negara ASEAN, justru Indonesia paling rendah. Ponco mencatat, rasio pajak Indonesia masih bertengger di level 10,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2022. Posisi ini jauh tertinggal dari Thailand yang mencatat rasio sebesar 14,5 persen terhadap PDB, Singapura 12,9 persen terhadap PDB, Malaysia 10,9 persen terhadap PDB, Vietnam 22,7 persen terhadap PDB, dan Filipina 17,8 persen terhadap PDB.

Baca Juga  IKAPRAMA dan RDN Consulting Dorong Kesiapan Wajib Pajak Gunakan “Core Tax”

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih berada pada level 5,31 persen pada tahun 2022. Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Vietnam yang telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,02 persen atau Filipina 7,60 persen.

Dengan demikian, menurut Ponco, perlu pertimbangan yang lebih holistik dan komprehensif untuk mengimplementasikan amanah UU HPP terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.

“Pemerintah memutuskan tarif PPN akan naik dari 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022. Kemudian, paling lambat 1 Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan lagi menjadi 12 persen. Tentunya hal ini akan menimbulkan pro dan kontra untuk berbagai pihak, dikarenakan terdapat perbedaan kepentingan terutama di masa pemulihan perekonomian pascapandemi COVID-19. Kenaikan PPN tersebut secara otomatis akan berimbas kepada naiknya harga barang dan jasa di seluruh Indonesia yang mengakibatkan peningkatan inflasi yang berujung pada turunnya daya beli masyarakat,” ungkap Ponco.

Ia menilai, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 telah meningkatkan biaya produksi dan konsumsi masyarakat. Kenaikan tarif PPN memiliki multiefek pada penurunan permintaan atas barang dan jasa. Setidaknya, hal itu terbukti dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan, kontribusi daya beli masyarakat (konsumsi) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2022 (51,7 persen terhadap PDB) menurun bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu (52,9 persen terhadap PDB).

Di sisi lain, Ponco memahami, kenaikan tarif PPN juga bertujuan untuk mendorong realisasi penerimaan pajak, sehingga mampu mengembalikan defisit fiskal di bawah 3 persen pada tahun 2023 sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kenaikan tarif PPN pun diproyeksi mampu mendorong pemulihan ekonomi. Sebab hingga kini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih memberikan beragam insentif fiskal untuk sektor-sektor usaha yang terpuruk, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Baca Juga  KPP Pratama Semarang Timur dan Pertamina Patra Niaga Buka Klinik Pelaporan SPT

“Kalau kita lihat, pemerintah sudah menerapkan kebijakan yang seimbang untuk mendukung pemulihan ekonomi, membantu kelompok rentan dan tidak mampu, mendukung dunia usaha terutama kelompok kecil dan menengah (UMKM). Dengan adanya UU HPP, pemerintah sepenuhnya mempertahankan fasilitas PPN yang saat ini berlaku,” tambahnya.

Meski demikian, Ponco juga berpendapat, saat ini terdapat kebutuhan untuk mengevaluasi serta mengukur kinerja penerimaan PPN. Tujuannya adalah untuk meninjau optimal atau tidaknya kebijakan, serta administrasi PPN terhadap penerimaan.

“Saat ini indikator untuk mengukur kinerja efisiensi PPN adalah menggunakan rasio c-efficiency, ini berbeda dibandingkan indiaktor-indikator lain, seperti rasio PPN maupun rasio efisiensi PPN. Rasio c-efficiency PPN tidak menggunakan seluruh PDB dalam komponen perhitungan, melainkan hanya menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja,” jelasnya.

Ponco mengutip penelitian berjudul The Evolution of Potential VAT Revenues and C-Efficiency in Advanced Economies yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), menyatakan bahwa rasio c-efficiency PPN dihitung dengan rumus V/PVT. Adapun V merupakan realisasi penerimaan PPN, sementara PVT mewakili pendapatan teoritis dari PPN.

“Mengerucutkan variabel perhitungan ke konsumsi, membuat indikator ini mampu menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya. Perubahan struktur PPN terjadi karena beberapa alasan,” tambahnya.

Ponco menyebut, berdasarkan rumus itu c-efficiency PPN Indonesia tercatat masih sebesar 63,58 persen. Artinya, pemerintah hanya bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat barang dan jasa yang belum tercatat ke dalam sistem administrasi perpajakan serta masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.

Baca Juga  Cara Simpel Hitung Pajak atas THR

“Masih tersedia ruang yang cukup besar untuk mengoptimalkan penerimaan PPN. Caranya apa? Dari kaca mata pemerintah, yakni dengan memanfaatkan momentum perekonomian Indonesia yang terus menunjukkan pemulihan. Hal ini tidak terlepas dari faktor meningkatnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan akan semakin menguat sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pascapandemi dan konsumsi masyarakat yang semakin menguat juga akan berdampak pada PPN,” jelasnya.

Menurut Ponco, selain perlu mempertimbangkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen paling lambat tahun 2025, pemerintah juga sangat perlu meningkatkan kemampuan untuk memungut potensi PPN. Ia mengapresiasi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang terus menambah jumlah perusahaan pemungut pajak PPN atas transaksi elektronik. Ponco mencatat, pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) hingga akhir Maret 2023 sebanyak 144 pelaku usaha. Dari jumlah itu, 126 perusahaan telah menghimpun dan menyetorkan PPN PMSE kepada negara sebesar Rp 11,7 triliun.

Dengan demikian, menaikkan PPN menjadi 12 persen paling lambat tahun 2025 perlu mengacu beragam variabel—bukan sekadar membandingkan dengan tarif di dunia. Secara simultan, kenaikan tarif PPN juga perlu diimbangi dengan fasilitas dan dukungan terhadap kelompok rentan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *