in ,

INDEF: Kebijakan Perpajakan 2022 Blunder

Kelima, terkait efektivitas belanja. INDEF menilai, pemerintah pusat terkesan menitikberatkan masalah pada lambatnya serapan dana pemerintah daerah yang diketahui masih mengendap Rp 100 triliun di bank daerah pada 2020. Pemerintah pusat juga selalu menyoroti soal porsi belanja pegawai daerah yang dinilai jumbo. Padahal masalah utama juga terletak pada pemerintah pusat.

“Sepanjang 2021 belanja pemerintah pusat juga masih gemuk di birokrasi yakni belanja pegawai sebesar Rp 420 triliun atau 21 persen persen (dari porsi belanja negara) dan belanja barang Rp 358 triliun atau 18 persen,” kata Bhima.

Keenam, risiko taper tantrum. Menurut Bhima, sangat disayangkan pemerintah tidak memerhatikan hal itu. Padahal, taper tantrum pernah terjadi pada 2013 dan sangat berimbas di Indonesia.

Baca Juga  Airlangga: Pemerintah Lanjutkan Pembahasan Kenaikan PPN 12 Persen

Sebagai informasi, taper tantrum merupakan efek pengumuman kebijakan moneter Amerika Serikat. Tahun 2013, The Fed mengeluarkan regulasi quantitative easing, yakni mengurangi penyaluran kredit untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Implikasinya, nilai tukar rupiah negara fragile five melemah. Fragile five adalah istilah untuk lima negara yang tergantung pada investasi asing sekaligus rentan terguncang akibat gejolak ekonomi dunia yakni, India, Indonesia, Brazil, Afrika Selatan, dan Turki.

“Keluarnya dana asing sangat berdampak pada pelemahan ekonomi domestik. Imbas kepada stabilitas kurs rupiah akan membuat harga barang-barang impor termasuk bahan baku industri naik signifikan,” jelas Bhima.

Ditulis oleh

Baca Juga  Kurs Pajak 24 –30 April 2024

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *