Implementasi PNBP Pascaproduksi Sesuai Prinsip Ekonomi Biru
Pajak.com, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan implementasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pascaproduksi di bidang perikanan tangkap sesuai dengan prinsip ekonomi biru. Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Ukon Ahmad Furqon mengungkapkan, hal tersebut dilakukan untuk menjamin keberlanjutan ekosistem laut, kehidupan sosial masyarakat, dan kesinambungan usaha.
“Yang kita (ingin) optimalkan (dari aturan ini) agar sumber daya ikan berkelanjutan karena ikan ini kan bukan benda mati ya, dan kalau tidak dikelola sebaik-baiknya dia akan semakin terbatas. Jadi, perizinan atau mekanisme output control ini adalah bagian dari tata kelola perikanan kita, agar sumber daya ikannya berkelanjutan dan pelaku usahanya berkelanjutan sesuai ekonomi biru,” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Sabtu (21/01).
Perubahan penerimaan negara bidang perikanan tangkap dari yang tadinya pra menjadi pascaproduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada mekanisme sebelumnya, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara praproduksi. Saat Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan, pelaku usaha harus membayar PNBP PHP sebelum melakukan usaha penangkapan ikan untuk setahun ke depan. Sedangkan mekanisme pascaproduksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang didaratkan dan pengurusan SIPI tidak lagi dikenakan biaya. Dengan demikian, penarikan PNBP lebih berkeadilan karena sesuai tangkapan riil dan pendataanpun menjadi semakin akurat.
Sejalan dengan penerapan mekanisme pascaproduksi, Ukon menerangkan bahwa KKP memperkuat infrastruktur pelaporan menggunakan teknologi informasi, di mana pelaku usaha dapat mengisi secara mandiri data hasil penangkapan ikan pada aplikasi e-PIT yang dapat diunduh secara gratis. Sejauh ini sudah banyak pelaku usaha perikanan yang mengunduh aplikasi tersebut.
“Jadi, karena yang menghitung ini pelaku usaha sendiri, kita sangat berharap dapat melaporkan sesuai dengan hasil tangkapannya karena walaupun yang menghitung pelaku usaha, pemerintah tetap berkewajiban melakukan verifikasi dan apabila dipastikan ada kekurangan bayar, otomatis pelaku usaha berkewajiban untuk membayar sisanya,” ujarnya.
Terkait permintaan nelayan agar KKP menurunkan tarif indeks PNBP dari 10 persen untuk kapal berukuran di atas 60 GT, Ukon mengaku pihaknya sudah menyiapkan jalan keluar dengan menyesuaikan Harga Acuan Ikan (HAI) yang menjadi variabel lainnya dalam penghitungan PNBP pascaproduksi, dengan mempertimbangkan biaya operasional atau harga pokok produksi. Solusi ini diterima dengan baik para pelaku usaha sembari menunggu revisi indeks tarif dalam PP 85/2021.
“Kapal di atas 60 GT mendapat masukan dari nelayan karena dianggap cukup besar indeks tarifnya. Ini yang kita serap. Pak Menteri juga sudah menerima langsung teman-teman nelayan belum lama ini. Saat ini proses sedang berjalan, dan kami sudah diskusi dengan teman-teman di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan mereka mendukung. Kami tetap diskusi bagaimana ini cepat selesai sesuai harapan,” jelasnya.
Comments