in ,

Ekonom: Optimalkan Pajak Pertambangan dan Konstruksi

Faisal mengungkapkan, koefisien pajak sektor pertambangan menurun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Pada tahun 2012-2016, rata-rata tingkatnya berada di 1,4, sedangkan sekarang berada di level 0,66.

“Jadi ada yang aneh di pertambangan, pada 2012-2016, koefisiennya masih di atas 1, sekarang 0,66. Nah ini gara-gara smelter nikel dikasih fasilitas, luar biasa di surga saja enggak seperti itu fasilitas. Jadi kita super-surga,” kata Alumnus Universitas Vanderbilt Amerika ini.

Oleh karena itu, Faisal mengusulkan supaya pemerintah dapat mengubah pengenaan pajak final perusahaan pertambangan atau konstruksi dengan skema pajak penghasilan (PPh)—yang berlaku juga pada sektor lainnya.

“Nah, berlakukan seperti sektor lain, ya bayar PPh 22 persen kalau sekarang, tahun depan 20 persen dari keuntungan. Jangan berlakukan pajak final. Kan, perusahaan konstruksi sebagian besar juga BUMN (Badan Usaha Milik Negara) lebih gampang. Jadi, konstruksi ini nomor empat sumbangannya ke PDB. Jadi jangan ambil yang cacing kremi, ambil yang dagingnya tebal. Kemudian, hapus tax holiday untuk khususnya pertambangan dan industri yang berlokasi di KEK (Kawasan Ekonomi Khusus)—berakitan dengan konstruksi,” jelasnya.

Baca Juga  Pemerintah Inggris Pangkas Pajak Asuransi untuk Kelas Pekerja

Faisal menekankan, optimalisasi penerimaan pajak dari sektor-sektor itu harus dilakukan demi normalisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan mengembalikan defisit di bawah 3 persen.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *