Pajak.com, Jakarta – Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menyatakan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen sebelum tahun 2025. Ketetapan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mekanisme pemberlakuan tarif PPN 12 persen dapat diusulkan oleh pemerintah melalui DJP dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian dibahas bersama dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Kendati demikian, Hestu memastikan, usulan kenaikan PPN menjadi 12 persen sebelum tahun 2025 akan didasari oleh kondisi ekonomi nasional yang semakin membaik.
Seperti diketahui, tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen sejak 1 April 2022. Kenaikan ini berdasarkan UU PPN yang telah diubah melalui UU HPP.
“Jadi ada mekanisme menaikkan PPN jadi 12 persen (sebelum tahun 2025). Pemerintah harus menyampaikan dulu ke DPR ketika menyusun RAPBN. Namun kalau tidak dilakukan, otomatis 1 Januari 2025 nanti menjadi 12 persen. Yang penting dipahami dari latar belakang perubahan tarif, salah satunya adalah c-efficiency PPN Indonesia yang baru mengumpulkan 63,58 persen dari total yang harus dipungut. Hal ini karena barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem. Seharusnya c-efficiency PPN 100 persen. Dan, latar belakang lainnya masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan,” jelas Hestu dalam webinar bertajuk Peningkatan Tarif PPN di Era Pandemi, Sudah Tepatkah?, diselenggarakan oleh PKN STAN secara virtual, dikutip Pajak.com (11/6).
Ia mengungkapkan, fasilitas PPN mengakibatkan ketimpangan kontribusi sektor usaha pada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun kontribusi PPN dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi PPN dalam negeri, antara lain pada sektor pertanian (1,9 persen), manufaktur (37,1 persen), konstruksi (12,9 persen), perdagangan (22,7 persen), pertambangan (2,3 persen), jasa keuangan (1,3 persen), jasa pendidikan (0,1 persen), jasa kesehatan (0,2 persen).
“Kalau kita lihat, kontribusi sektor manufaktur share kepada PDB nominal 20,6 persen, share kepada PPN dalam negeri 37,1 persen. Sektor perdagangan share PDB nominal 13,7 persen, sementara share kepada PPN 22,7 persen. Tapi objek pajak lain, seperti pertambangan share PDB nominalnya 6,7 persen, share PPN 2,3 persen. Inilah yang membuat kami berpikir, ada yang share kepada PDB lebih tinggi, tapi penerimaannya (PPN) sangat rendah. Ini yang kita lihat struktur pengenaan PPN kita, perlu kita buat keseimbangan. Meskipun sektor pendidikan atau kesehatan tidak bisa mendukung,” jelas Hestu.
Comments