Tarik Ulur Kebijakan PPN 12 Persen: Apa Dampaknya pada Penerimaan Negara?
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah akhirnya menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang tertentu setelah melalui perdebatan panjang. Kebijakan ini muncul dari kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah dinamika ekonomi yang penuh tantangan.
Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengungkapkan, wacana perubahan tarif PPN mulai mencuat di akhir tahun 2024, mengundang pro dan kontra di berbagai kalangan. Di satu sisi, peningkatan penerimaan negara menjadi kebutuhan mendesak. Namun di sisi lain, opsi kenaikan utang dinilai kurang populer secara makroekonomi.
“Pembatalan penerapan PPN 12 persen secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat, massive layoff di industri padat karya dan deflasi,” ujar Krisna dikutip Pajak.com pada Senin (6/1/2025).
Ia menambahkan bahwa negara-negara dengan target pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya cenderung melakukan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak, bukan peningkatannya.
Sejarah Perubahan Tarif PPN
Krisna menjelaskan bahwa, isu penerimaan negara melalui PPN bukanlah hal baru. Sejak 2019, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memusatkan perhatian pada kondisi fiskal, termasuk penerimaan dan pembiayaan. Menurut laporan Bank Dunia, upaya perbaikan penerimaan negara meliputi rasionalisasi insentif pajak, pengenaan pajak karbon, serta peningkatan tarif PPN.
Pada April 2022, tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen. Namun, dampaknya terhadap penerimaan negara ternyata tidak signifikan. Berdasarkan data, penerimaan dari PPN dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang Mewah (PPnBM) hanya mencapai sekitar 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nominal. Pada 2022 dan 2023, angka tersebut masing-masing tercatat di 3,51 persen dan 3,55 persen, menunjukkan hasil yang masih stagnan.
“Hal ini menunjukkan peningkatan PPN 11 persen pada 2022 belum berhasil mendorong penerimaan. Meskipun tarif naik, penerimaan tidak serta-merta meningkat jika aktivitas ekonomi menurun,” jelas Krisna.
Lebih lanjut, Krisna menjelaskan bahwa inefisiensi penerimaan PPN disebabkan oleh pengecualian untuk beberapa barang dan jasa, serta penerapannya yang terbatas pada usaha milik Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menurut Undang-undang (UU) PPN Tahun 1984, PKP adalah pengusaha yang menyerahkan Barang atau Jasa Kena Pajak, dengan pengecualian untuk usaha kecil yang tidak memenuhi batas tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Batasan ini menciptakan dilema bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Banyak UMKM yang memilih tetap kecil daripada memperluas usaha mereka hingga mencapai kriteria PKP.
“Mendorong semakin banyak usaha untuk menjadi usaha PKP harus menjadi prioritas,” ungkap Krisna. Ia menambahkan bahwa peningkatan tarif PPN justru dapat mengurangi insentif bagi pengusaha untuk menjadi PKP. Sebaliknya, pemerintah perlu mengutamakan ekstensifikasi jumlah PKP dibandingkan intensifikasi melalui kenaikan tarif.
Selain menambah jumlah PKP, pemerintah juga dapat meningkatkan penerimaan negara melalui langkah-langkah lain. Krisna menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan UMKM dengan mengurangi restriksi pasar, mempermudah prosedur bisnis, dan membangun ekosistem kewirausahaan yang sehat.
“Meningkatkan kemudahan berusaha harus menjadi fokus utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekstensifikasi penerimaan negara,” tutupnya.
Comments