in ,

Chatib Basri: Presiden Terpilih Harus Bisa Tingkatkan Penerimaan dan Rasio Pajak

Chatib Basri: Presiden Terpilih
FOTO: Aprilia Hariani

Chatib Basri: Presiden Terpilih Harus Bisa Tingkatkan Penerimaan dan Rasio Pajak

Pajak.com, Jakarta – Ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan (periode 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014) Chatib Basri menegaskan, presiden terpilih ke depan harus bisa tingkatkan penerimaan dan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan keduanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sumber pembiayaan investasi dan pembangunan, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen.

Sebagai gambaran, saat ini rasio pajak Indonesia masih bertengger di level 10,41 persen terhadap PDB atau paling rendah dibandingkan negara ASEAN dan G20. Di ASEAN, rasio pajak tertinggi dicapai Vietnam sebesar 22,7 persen terhadap PDB, lalu disusul Kamboja 20,2 persen terhadap PDB, Thailand 16,5 persen terhadap PDB, Singapura 12,8 persen terhadap PDB, Malaysia 11,4 persen terhadap PDB. Sementara di negara G20, seperti Amerika Serikat mencatatkan rasio pajak pada level 26,58 persen terhadap PDB; Denmark, Prancis, dan Finlandia mencapai di kisaran 40 persen hingga 47 persen terhadap PDB.

Baca Juga  Indonesia Masih Rajin Impor Ikan dari Norwegia hingga Cina, Nilainya Capai 130,03 Juta Dollar AS

“Saya ingin mengatakan siapapun yang terpilih sebagai presiden pada 2024-2029 dan ke depan harus meningkatkan penerimaan pajak agar tax ratio terhadap PDB mengalami peningkatan. Karena ekonomi harus dipercepat. Dalam konsep teori ekonomi, ICOR (incremental capital-output ratio). Kalau Indonesia ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, maka Indonesia butuh tambahan investasi. Tambahan itu bisa diperoleh dari lewat tabungan domestik maupun luar negeri untuk menggenjot PDB,” jelas Chatib dalam acara BTPN Economic Outlook 2024, dikutip Pajak.com, (23/11).

Investasi terhadap PDB membutuhkan uang, baik dari sumber pembiayaan domestik maupun asing. Namun, hingga kini jumlah tabungan domestik hanya 36 persen, sedangkan kebutuhan investasi Indonesia lebih tinggi dari itu atau sekitar 47 persen terhadap PDB. Dengan demikian, pemerintah perlu mencari sumber pembiayaan dari luar negeri.

“Ada gap atau kebutuhan yang uangnya enggak ada dari domestik dan itu harus (dari) luar. Itu besarnya 11 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.800 triliun tambahan kekurangan. Masalahnya, investasi terhadap PDB ini butuh uang, tidak bisa invest kalau tidak ada uang. Enggak bisa juga portofolio, karena kalau uangnya masuk bisa keluar lagi, kalau PMA (penanaman modal asing) di sektor ekspor oriented revenue-nya juga dollar AS, itu naturally hatch,” jelas Chatib.

Baca Juga  BKF: Insentif PPN Pembelian Rumah untuk Antisipasi Perlambatan Ekonomi Global

Untuk itu, ia berharap pemerintahan periode 2024-2029 harus mampu menarik investasi asing masuk untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada penerimaan pajak dan pembangunan nasional, baik sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur.

“Pemerintahan ke depan harus friendly sama investor. Artinya regulasi harus streamline, debirokratisasi, investment climate diperbaiki dan sebagainya. Opsi terakhir, kalau (pembiayaan) enggak cukup, ya utang,” pungkas Chatib.

Ia juga menganalisis tantangan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi nasional ke depan. Pertama, era suku bunga tinggi akan membuat Bank Indonesia (BI) harus menyusun strategi dalam menjaga pasar keuangan domestik.

“BI harus menentukan langkah, menaikkan suku bunga atau mengambil bauran kebijakan,” kata Chatib.

Kedua, serangan di Palestina yang apabila konfliknya meluas di Timur Tengah, maka akan mendorong kenaikan harga minyak. Kondisi tersebut tentu akan memengaruhi harga dalam negeri.

Baca Juga  Upaya Indonesia Amankan Ekspor Udang Beku dari Ancaman Bea Masuk Antidumping AS

“Jadi, bagaimana langkah pemerintah dalam menyikapinya. Tidak mungkin pemerintah membebankan kenaikan pada konsumen, sehingga mau tidak mau ada tambahan subsidi energi,” ungkap Chatib.

Ketiga, kenaikan harga beras akibat fenomena kekeringan atau El Nino. Menurutnya, kenaikan harga beras sangat sensitif dengan daya beli masyarakat.

“Di sini perlu juga uluran tangan dari pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, dengan memberikan tambahan bantuan sosial. Langkah- yang diambil pemerintah itu tentu akan memberi beban baru bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sehingga tahun ini dan tahun depan, beban fiskal sangat berat. Beban subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dan beban jaminan harga beras bisa stabil, menjadikan ruang fiskal tidak akan terlalu banyak,” ungkap Chatib.

Baca juga: 

Edi Slamet Irianto: Tahun 2023 Momentum Transformasi Perpajakan Indonesia https://www.pajak.com/pajak/edi-slamet-irianto-tahun-2023-momentum-transformasi-perpajakan-indonesia/.

Tax Buoyancy Penyebab Rendahnya Rasio Pajak https://www.pajak.com/pajak/tax-buoyancy-penyebab-rendahnya-rasio-pajak/.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *