in ,

Tax Buoyancy Penyebab Rendahnya Rasio Pajak

Tax Buoyancy Penyebab Rendahnya Rasio Pajak
FOTO: P2Humas Direktorat Jenderal Pajak

Tax Buoyancy Penyebab Rendahnya Rasio Pajak

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal memproyeksi rasio pajak (tax ratio) pada tahun 2023 mencapai 9,61 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan rasio pajak pada tahun lalu yang mencapai 10,41 persen. Tax buoyancy penyebab rendahnya rasio pajak, penurunan rasio pajak disebabkan oleh normalisasi tax buoyancy. Kendati demikian, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis, Reformasi Perpajakan Jilid III akan mampu meningkatkan rasio pajak dan tax buoyancy. 

Sekilas mengulas, apa itu tax buoyancy? tax buoyancy merupakan istilah yang sering kali digunakan untuk menyebut pengukuran respons atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun rotal elastisitas tersebut memperhitungkan peningkatan pendapatan dan perubahan diskresioner. Perubahan diskresioner itu mencakup tarif dan basis pajak yang dibuat oleh otoritas dalam sebuah sistem pajak.

Nilai tax buoyancy di angka 1 merefleksikan bahwa setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyumbang 1 persen kenaikan penerimaan pajak. Wijayanti dan Budi (2010) menyatakan, nilai buoyancy pajak yang lebih kecil dari 1 mengindikasikan rendahnya elastisitas pajak dan tidak efektifnya perubahan diskresioner. Sementara nilai buoyancy pajak yang lebih besar dari 1 mengindikasikan perubahan diskresioner dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Baca Juga  Tak Setor PPN, Pengusaha Kontraktor di Jatim Dipenjara

Tax buoyancy 2 tahun terakhir kita akselerasi, pada 2023 ini kembali pulih (normal). Pada 2021 dan 2022, tax buoyancy di Indonesia mencapai angka 2,” jelas Yon dalam acara Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023 yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), (25/1).

Secara detail, pada tahun 2021 tax buoyancy tercatat mencapai 2,04 dan tahun 2022 tax buoyancy 2,08. Dengan begitu, peningkatan tax buoyancy seirama dengan kinerja rasio pajak pada 2021 sebesar 9,11 persen dan 10,41 persen di tahun 2022.

“Pada tahun ini, tax buoyancy diperkirakan berada di zona negatif sebesar 0,09 karena penurunan penerimaan perpajakan dari Rp 2.034,5 triliun pada tahun lalu menjadi Rp 2.021,2 triliun pada tahun ini. Namun, Kemenkeu berkomitmen untuk mengembalikan tax ratio ke level di atas 10 persen dengan berbagai reform agar kita bisa kembali ke level tersebut,” ujar Yon.

Baca Juga  Realisasi Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jaksus Tembus 85,80 Persen dari Target per 28 November 2024

Ia menjelaskan, agar rasio pajak dapat tumbuh beriringan dengan pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus mencatatkan tax buoyancy di atas 1. Untuk itu, reformasi perpajakan akan menjadi kunci untuk mendukung upaya peningkatan tax buoyancy dan rasio pajak.

Sejatinya, komitmen itu tidak tertuang dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN). UU tidak menetapkan target rasio pajak di setiap tahun. Namun, pemerintah berupaya untuk merealisasikan penerimaan pajak di atas target yang telah ditetapkan untuk meningkatkan rasio pajak pajak dan menjaga tren tax buoyancy di atas 1.

“Maka, tantangan otoritas perpajakan pada tahun ini, yakni bagaimana tidak semata-mata mencapai target 100 persen, tetapi juga mencapai target lebih dari tax buoyancy 1, sehingga tax ratio bisa ditingkatkan,” jelas Yon.

Ia mengatakan, rasio pajak di suatu negara idealnya mencapai 15 persen agar menjadi negara yang berkesinambungan dalam hal pendanaan untuk berbagai program pembangunannya. Sementara, rasio pajak di Indonesia cenderung menurun.

Baca Juga  APRINDO: Kenaikan PPN 12 Persen Dapat Memicu Kenaikan Harga 5-10 Persen

Berdasarkan data Kemenkeu, rasio pajak tahun 2019 mencapai 8,42 persen terhadap PDB, menurun menjadi 6,95 persen terhadap PDB di 2020. Meskipun akhirnya, di tahun 2021 kembali naik menjadi 7,53 persen, namun angka itu masih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak 2019.

“Pada 2023 sudah kembali pulih, namun belum bisa kembali ke level 10,8 persen seperti yang sudah terealisasi sejak 2015. Penerimaan perpajakan tahun ini harus tumbuh, sehingga dapat menjaga tax ratio tetap tumbuh dan kembali ke level double digit,” tambah Yon.

Adapun penerimaan perpajakan pada 2021 tercatat sebesar Rp 1.546,5 triliun atau naik menjadi Rp 2.034,6 triliun pada 2022. Sementara target penerimaan perpajakan pada 2023 dipatok Rp 2.021,2 triliun atau turun 0,66 persen dari realisasi penerimaan perpajakan pada 2022.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *