in ,

Aturan Perpajakan atas Transaksi Lintas Batas

Aturan Perpajakan atas Transaksi Lintas Batas
FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta –  Era digitalisasi industri telah menciptakan model transaksi baru dalam sistem perdagangan saat ini. Salah satu tantangan besar perpajakan di era digital ini adalah kompleksitas aturan perpajakan atas transaksi secara digital lintas batas yang belum menemukan kesepakatan perpajakan antarnegara.

Pemerintah Indonesia pun telah mempercepat ketentuan pemajakan transaksi digital melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (Perppu No.1/2020) serta peraturan pelaksananya melalui PMK No.48 Tahun 2020 (PMK 48/2020) yang diterbitkan pada tanggal 5 Mei 2020 lalu dan mulai berlaku pada 1 Juli 2020. PMK ini mengatur tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tak berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri yang dimanfaatkan di dalam negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), mulai dari penunjukan pemungut, kewajiban pemungutan, penyetoran, hingga pelaporan PPN.

Sementara di dunia internasional, dukungan serta rancangan mengenai penerapan PPN atas transaksi digital telah menjadi bagian dari fokus Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terkait isu pemajakan ekonomi digital. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan tersebut, meskipun pada akhirnya OECD baru saja mengumumkan, kesepakatan global tentang pengenaan pajak digital yang rencananya ditandatangani pada pertengahan tahun ini dikabarkan bakal molor hingga 2024.

Baca Juga  MK Tolak Permohonan Penghapusan Sanksi Penjara bagi Wajib Pajak yang Lalai Lapor SPT

Menurut akademisi dari Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Hendri, persoalan perpajakan internasional menjadi isu utama dalam transaksi digital lintas batas. OECD telah menjadikan persoalan ini menjadi persoalan global yang harus diselesaikan secara bersama. Namun, otoritas pajak mengalami kesulitan dalam mengatur hak pemajakan atas transaksi digital lintas batas yang tidak mengenal batas yurisdiksi dan wilayah ini.

“Konsep pemajakan yang mengharuskan adanya kehadiran fisik atau physical presence sebagai syarat dari terbentuknya suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana diatur dalam banyak tax treatyAS Akan Akhiri Perjanjian “Tax Treaty” dengan Hongaria merupakan persoalan utama dalam model transaksi digital ini,” kata Hendri dalam paparannya saat sidang promosi doktornya di bidang Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UI dengan disertasi berjudul “Analisis Praktik Penghindaran Pajak Penghasilan Dalam Transaksi Lintas Batas Di Indonesia” beberapa waktu lalu.

Baca Juga  DJP: 10 Juta Lebih Wajib Pajak Telah Lapor SPT

Desertasi Hendri juga menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga bentuk skema penghindaran pajak yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pertama, skema penghindaran Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan cara menghindari kehadiran fisik di Indonesia, yakni melakukan fragmentasi kegiatan usaha, dan menjalankan fungsi preparatory dan auxiliary.

Kedua, dengan memanfaatkan skema pembayaran melalui media atau platform luar negeri. Ketiga, penghindaran pajak dengan melakukan praktik transfer pricing melalui skema perjanjian cost contribution terkait pengalihan aset tak berwujud di negara dengan tarif pajak rendah untuk kemudian dilisensikan ke entitas di negara lain.

Hasil penelitian Hendri juga menunjukkan, selain alasan adanya celah regulasi yang memungkinkan pelaku usaha melakukan penghindaran pajak, moral pelaku usaha juga sebagai salah satu alasan dilakukannya skema penghindaran pajak.

Baca Juga  Kanwil DJP Jakbar Catat Penerimaan Pajak Rp 10,27 T

Hendri memberikan solusi yang ia sebut sebagai solusi dua pilar untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh aturan pajak internasional yang lama. Pilar satu menawarkan yurisdiksi pasar hak pemajakan baru atas multinational enterprises, terlepas dari ada atau tidak adanya kehadiran fisik. Penyederhanaan konsep arm’s length principal juga dilakukan dalam pilar satu ini sehingga sengketa pajak juga diharapkan dapat dihindarkan. Sedangkan solusi pilar dua menetapkan pajak minimum 15 persen atas laba perusahaan sehingga akan membatasi kompetisi pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *