in ,

Asal Mula Pajak dan Keberadaannya di Indonesia

asal mula pajak
FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Tak disangsikan lagi, pajak merupakan komponen penting dan sumber pendapatan utama yang digunakan untuk pembangunan sebuah negara. Namun, tahukah Anda bagaimana asal mula pajak? Lalu bagaimana keberadaannya di Indonesia?

Jika menukil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pajak diartikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Mengingat sebegitu penting peranannya, maka tak heran kalau pajak diberlakukan di hampir semua negara. Pajak berbeda dengan sumber pendapatan lain seperti yang berasal dari sumber daya alam, karena ini merupakan pungutan wajib dan tidak terbatas.

Biasanya, uang yang dikumpulkan dari hasil pajak akan dikembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk lain, melalui pelayanan publik mulai dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, bantuan sosial, keamanan, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah pajak

Nah, bila melongok dari riwayatnya, pajak/persembahan/pungutan/upeti atau apapun sebutannya memang memiliki sejarah nan panjang. Jenis pajak yang saat ini sangat luas dan selalu berubah, termasuk pajak penjualan, cukai, dan pajak properti sejatinya telah ada sejak peradaban awal dan menjadi acuan hingga zaman ekonomi modern.

Menurut catatan sejarah, perpajakan pertama bermula di Mesir kuno sekitar 5.000 tahun yang lalu saat Firaun mengumpulkan pajak yang setara dengan 20 persen dari semua panen gandum. Kala itu, Mesir tidak memiliki uang, sehingga biji-bijian mewakili penyimpan nilai nyata yang dapat dengan mudah dikumpulkan, diperdagangkan, dan didistribusikan kembali ke seluruh masyarakat.

Jejak dokumentasi mengenai pajak di zaman Firaun ini terukir di Batu Rosetta—dengan huruf hieroglif—yang sebagian besar menjelaskan undang-undang pajak baru yang ditetapkan pada tahun 196 Sebelum Masehi (SM).

Selanjutnya, pajak atas konsumsi dikenakan di Yunani dan Roma. Tarif pajak atas barang-barang impor sering kali jauh lebih penting daripada cukai dalam negeri sejauh produksi pendapatan berjalan. Sebagai sarana untuk mengumpulkan dana tambahan pada saat perang di masa itu, pajak atas properti pun dikenakan untuk sementara.

Baca Juga  SPT Lebih Bayar Langsung Diperiksa? Ini Penjelasan DJP

Untuk waktu yang lama pajak-pajak ini terbatas pada properti riil, tetapi kemudian diperluas ke aset-aset lainnya. Seperti banyak inovasi modern, orang-orang Yunani bisa dibilang sebagai penggagas perpajakan dan menyebarkannya ke seluruh negara maju, saat mereka memperluas wilayah dan peradaban mereka berkembang.

Di Yunani, warga negara bebas memiliki kewajiban pajak yang berbeda dari budak, dan undang-undang perpajakan Kekaisaran Romawi membedakan antara warga negara dan penduduk wilayah taklukan. Bentuk perpajakan Romawi awal termasuk pajak konsumsi, bea cukai, dan pajak langsung tertentu. Aturan pokok dari pajak ini adalah tributum, dibayar oleh warga negara dan biasanya dipungut sebagai pajak kepala; kemudian, ketika pendapatan tambahan diperlukan, dasar pajak ini diperluas ke kepemilikan real estat.

Catatan sejarah juga mengungkapkan kalau pajak ada di Mesopotamia–kini dikenal sebagai Irak—sejak 3300 SM berupa upeti atau persembahan untuk kuil berbentuk emas, hewan ternak, dan budak. Kala itu, kuil Mesopotamia merupakan pusat kekuasaan dan simbol kemasyarakatan bangsa Sumeria yang mendiami wilayah subur di antara sungai Eufrat dan Tigris ini.

Adanya persembahan yang diberikan oleh rakyatnya ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa dokumen sejarah berupa tulisan kuno berbentuk baji di Mesopotamia. Dokumen sejarah tentang pajak itu membuktikan bahwa pajak adalah subjek yang pelaksanaannya telah dilakukan sejak ribuan tahun lamanya.

Ihwal aneka jenis pajak

Pajak penjualan

Untuk pajak penjualan (di Indonesia awam disebut pajak pertambahan nilai/PPN), wilayah yang disebut-sebut pelopor pembuat aturannya adalah Romawi kuno. Julius Caesar, raja yang berkuasa saat itu orang pertama yang menerapkan pajak penjualan dengan mengenakan tarif tetap 1 persen di seluruh kekaisaran.

Mereka mengandalkan pendapatan pada pajak kepala dan pajak tanah seperti yang diberlakukan di Persia dan Mesir, tetapi kemudian dimodifikasi untuk mencapai kesesuaian tertentu dengan kesuburan tanah—atau sebagai alternatifnya sepersepuluh dari hasil bumi dipungut sebagai pajak dalam bentuk natura. Di bawah Caesar Augustus, pajak penjualan meningkat jadi 4 persen, mendekati tarif yang sekarang dikenakan pada beberapa negara bagian di Amerika Serikat.

Baca Juga  Peringati HUT Kota Malang, Bapenda Gelar Program Pemutihan Pajak

Pajak penghasilan

Dari situ, Kaisar Romawi Kuno Augustus mengubah sistem pajak pada akhir abad ke-1 SM.  Mulanya, proses pengumpulan dilakukan melalui pajak petani yang dipungut dari daerahnya masing-masing berdasarkan penilaian daerah secara keseluruhan, dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Menurutnya, sistem ini sulit untuk dilanjutkan, sehingga ia beralih ke sistem perpajakan langsung atas kekayaan individu. Namun, setelah beberapa waktu dilakukan, hal ini juga sulit untuk dilaksanakan, sehingga Augustus mengubahnya menjadi pajak penghasilan untuk menggantikan pemungutan itu.

Pajak properti

Pada zaman kuno, pajak properti dipungut di Mesir, Persia, dan Cina. Awalnya, pajak ini didasarkan pada nilai produksi tanah, atau berapa banyak plot yang diharapkan menghasilkan barang, dan oleh karena itu biasanya dibayar oleh petani. Pajak properti berlanjut di Eropa Abad Pertengahan di bawah William Sang Penakluk di Inggris. Menariknya, sang istri Lady Godiva memprotes tarif pajak properti secara paksa yang digagas suaminya, dengan cara menunggang kuda tanpa busana dan melalui jalan-jalan di wilayah itu.

Pajak di Indonesia

Dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), keberadaan pajak di Indonesia telah hadir sejak zaman kerajaan yang dikenal juga sebagai upeti. Kala itu, upeti dipungut dari masyarakat untuk membangun dan membiayai kerajaan mulai dari kegiatan operasional kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur, sampai menyelenggarakan acara-acara keagamaan.

Beberapa kerajaan yang telah menggunakan sistem perpajakan ialah Kerajaan Sriwijaya sekitar abad 3–12 Masehi; Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Majapahit sekitar abad 13–15 Masehi; hingga Kerajaan Aceh, Banten dan kerajaan pesisir lainnya, seperti Jepara, Gresik, Timor, Maluku, dan Ternate-Tidore.

Baca Juga  Syarat dan Jangka Waktu Pengajuan Peninjauan Kembali Sengketa Pajak ke MA

Pada masa kekuasaan raja-raja tersebut, aneka pungutan yang harus disetor pun bermacam-macam seperti pajak tanah, hasil hutan, dan pertunjukan seni. Ada yang melaksanakannya dengan cara yang sederhana, ada pula yang telah menggunakan sistem pemungutan pajak secara sistematis dan terstruktur.

Sebagai balasannya, raja pun menjamin rakyatnya melalui keamanan dan ketertiban—serta di beberapa kerajaan menerapkan sistem pembebasan pajak, terutama pada tanah perdikan.

Memasuki era kolonial Hindia Belanda, pajak yang diterapkan seperti pajak rumah, pajak usaha, sewa tanah, sampai pajak kepada pedagang. Tentu, karena sifatnya memaksa, pajak membuat rakyat kala itu merasa berat dan terbebani, apalagi pengelolaan pajak yang dipungut itu tanpa kejelasan.

Pada masa kemerdekaan, pajak dimasukkan ke dalam UUD 1945 Pasal 23 pada sidang BPUPKI. Pasal itu berbunyi: “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.

Meski sudah dituangkan dalam undang-undang, pemerintah belum dapat mengeluarkan aturan khusus yang mengatur tentang pajak karena belum adanya pemerintahan yang baku. Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, atau pada 19 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan pun dibentuk yang di dalamnya meliputi Pejabatan Pajak.

Susunan organisasi itu disusun dalam keadaan mendesak, karena Belanda datang dan ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan membentuk Netherlands Indie Civil Administration (NICA). Karena terjadi Agresi Militer Belanda pertama tersebut, Kementerian Keuangan—termasuk Pejabatan Pajak—dan seluruh jajaran Kabinet harus mengikuti Presiden Soekarno hijrah sekaligus memindahkan ibu kota Jakarta ke Yogyakarta.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *