in ,

Penafsiran Peraturan dalam Hukum Pajak

Penafsiran Peraturan dalam Hukum Pajak
FOTO: IST

Penafsiran Peraturan dalam Hukum Pajak

Penafsiran peraturan dalam hukum pajak. Masalah penafsiran peraturan perpajakan tidak dapat dihindari, terutama jika menghadapi permasalahan yang belum atau sudah ada aturan pajaknya, tetapi tidak atau kurang jelas. Lalu tafsiran pihak mana yang paling kuat? Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran peraturan perpajakan yang mengakibatkan sengketa perpajakan, maka hakim badan peradilan pajaklah yang akan memutuskan.

Oleh karena itu seharusnya putusan-putusan badan peradilan pajak seharusnya dapat digunakan sebagai yurisprudensi di lapangan. Untuk penafsiran peraturan dalam hukum pajak seseorang tidak dapat hanya memperhatikan redaksinya saja. Peraturan yang kredibel adalah peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Berikut ini cara – cara penafsiran peraturan perpajakan yang disusun berdasarkan kekuatan hukumnya.

A. Penafsiran Otentik

Penafsiran peraturan dengan melihat maksud sang perumus undang – undang atau peraturan itu sendiri. Dalam hal ini peraturan sudah memberikan definisi – definisi yang biasanya dijelaskan pada pasal 1 yang berkaitan dengan pengertian-pengertian. Istilah – istilah tertentu yang dianggap penting sering diberikan definisi secara khusus, namun demikian dalam praktek tidak semua peraturan menjelaskan mengenai istilah – istilah yang digunakan dalam peraturan itu sendiri.

Tafsiran yang ada di dalam memori penjelasan undang – undang seringkali masih bisa diperdebatkan di muka pengadilan. Demikian juga tafsiran yang dilakukan oleh fiskus maupun Wajib Pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.

Baca Juga  DJP Ungkap 8 Kemudahan “Core Tax” dalam PMK 81/2024 untuk Wajib Pajak

B. Tafsiran Sistematis.

Penafsiran peraturan perpajakan dengan memperhatikan peraturan-peraturan lain yang terkait dan masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya.

Oleh karena itu pemahaman seorang fiskus atau Wajib Pajak akan sangat ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan. Pengetahuan mengenai ilmu akuntansi dan ilmu hukum akan sangat membantu dalam melakukan penafsiran undang-undang.

C. Tafsiran Historis

Penafsiran undang-undang dengan melihat pada kronologis atau sejarah dibuatkan undang-undang tersebut dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada hubungannya. Akan lebih baik lagi kalau dalam menafsirkan secara historis diperoleh juga draft Rancangan Undang – Undang (RUU), risalah rapat para pembuat undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal perpasal, jawaban pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), notulen sidang komisi dan sebagainya.

Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, maka akan diketahui sebab-sebab dari adanya suatu aturan perpajakan. Oleh karena itu suatu aturan perpajakan bisa dipahami sejarah perkembangannya sampai saat ini.

D. Tafsiran Sosiologis

Penafsiran aturan perpajakan yang dikaitkan perkembangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat akan mengalami perkembangan yang sangat dinamis, sementara hukum tertulis tidak dapat berubah setiap saat. Oleh karena itu hakim sebagai pelaksana undang-undang perlu melakukan penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan masyarakat.

Baca Juga  PMK 78/2024 Sederhanakan Aturan Bea Meterai, Ini Ringkasannya

Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu di masyarakat. Namun demikian jangan sampai hakim badan peradilan pajak menafsirkan undang-undang secara subyektif sehingga justru menimbulkan ketidakadilan.

E. Tafsiran Gramatikal.

Merupakan cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada tata bahasa yang terdiri dari rangkaian kata yang membentuk kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Tafsiran ini lebih didasarkan pada arti dari masing-masing kata yang membentuk kalimat dalam undang-undang. Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini cukup bervariasi.

Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata-kata undang-undang, meskipun maksud dari para pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata tersebut.

Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat.

F. Tafsiran Analogis

Penafsiran atas suatu peraturan dengan cara memperluas cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis atau setara atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan cenderung bersifat ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.

Baca Juga  Inggris Kenakan Pajak Warisan pada Dana Pensiun Mulai 2027

Cara penafsiran analog ini dalam hukum pajak tidak bisa diterapkan karena bila cara ini diterapkan, maka akan memberi suatu akibat yang berbahaya yaitu pajak akan diperluas hingga obyek yang semula tidak kena pajak. Akibatnya wajib pajak dirugikan dan menjadikan tidak adanya kepastian hukum.

G. Tafsiran Contrario

Merupakan penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan. Cara berpikir yang digunakan adalah secara terbalik. Misalnya dalam menentukan perlakuan perpajakanatas iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disetujui oleh Menteri Keuangan.

Dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 No PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan iuran pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan.

Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi. Penafsiran peraturan perpajakan sebenarnya boleh dilakukan oleh siapapun, tetapi penafsiran tersebut bersifat tidak mengikat. Penafsiran yang mengikat adalah penafsiran otentik menurut undang-undang dan tafsiran hakim peradilan pajak dalam hal terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dengan fiskus.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *