in ,

Memahami Perbedaan Inflasi dan Stagflasi

perbedaan inflasi dan stagflasi
FOTO: IST

Memahami Perbedaan Inflasi dan Stagflasi

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani di beberapa kesempatan kerap menyampaikan kepada seluruh pihak agar mewaspadai ancaman lonjakan inflasi dan stagflasi global, karena bisa memengaruhi stabilitas perekonomian dalam negeri. Untuk bisa turut mewaspadainya, tentu kita perlu pahami dulu definisi sekaligus perbedaan inflasi dan stagflasi.

Kondisi perekonomian global sejak awal 2022 memang telah membuat banyak negara-negara dunia mengalami lonjakan inflasi dan bersiap menghadapi stagflasi. Di pasar keuangan, inflasi dan stagflasi yang tengah menjadi momok ini juga meningkatkan kekhawatiran para investor, karena bisa berdampak buruk bagi perdagangan pasar saham global.

Apa itu Inflasi?

Dikutip dari laman Bank Indonesia, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). yang perlu diingat, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi—kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya.

Biasanya, inflasi berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan keadaan ekonomi yang terlalu bergejolak adalah salah satu kemungkinan penyebab inflasi yang lebih tinggi. Sebaliknya, resesi biasanya menyebabkan inflasi melambat.

Di Indonesia, inflasi bisa terjadi saat pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti lebaran, natal, dan tahun baru; serta penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi saat permintaan naik, harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan tetap meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand itu.

Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan. Tentunya, inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan agar kesejahteraan masyarakat makin meningkat.

Sebaliknya, inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat—pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Sejatinya, terdapat dua cara yang sering digunakan untuk mengukur laju inflasi yakni Indeks Harga Konsumen (IHK) dan juga Deflator PDB. Berdasarkan kenaikan harga yang terjadi akibat inflasi, inflasi dibagi menjadi empat jenis: inflasi ringan, inflasi sedang, inflasi berat, dan hiperinflasi.

Pada inflasi ringan, kenaikan harga keseluruhan di bawah 10 persen dalam setahun, sementara inflasi sedang jika kenaikan harga antara 10–30 persen dalam setahun. Untuk inflasi berat, kenaikan harga bisa berkisar antara 30–100 persen dalam setahun; dan hiperinflasi terjadi jika inflasi sudah tak terkendali dengan kenaikan harga di atas 100 persen dalam setahun.

Sementara bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed dan Bank Sentral Eropa (ECB) menjaga kewaspadaan konstan terhadap tanda-tanda inflasi. Mereka lebih memilih inflasi moderat daripada tidak sama sekali, sebagai jaminan terhadap destabilisasi deflasi.

The Fed, khususnya, tidak menginginkan sebuah psikologi inflasi untuk menetap di benak konsumen, atau berasumsi bahwa harga-harga akan terus naik. Keyakinan semacam itu bisa menyebabkan pekerja meminta upah yang lebih tinggi kepada perusahaan untuk menutupi kenaikan biaya hidup.

Baca Juga  Ini Pembahasan Pertemuan Sri Mulyani dan AHY
Apa itu Stagflasi?

Stagflasi dimaknai sebagai kondisi ekonomi yang terus melambat dan biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga pokok (inflasi) yang konstan. Kondisi stagflasi ini dapat terjadi akibat hiperinflasi dan juga tingkat pengangguran yang semakin tinggi di suatu negara.

Artinya, stagflasi merupakan kondisi lanjutan akibat pemburukan hiperinflasi. Itulah sebabnya, stagflasi juga disebut-sebut terminologi yang digabungkan dari istilah stagnasi dan inflasi. Istilah ini pertama kali dipakai sekitar tahun 1960-an oleh politisi Inggris Macleod di tengah kondisi ekonomi yang tertekan kala itu.

Saat memberikan pidato di Dewan Rakyat Britania Raya, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris sebagai situasi stagflasi. Istilah ini lalu kembali disebutkan saat periode resesi pada 1970-an di AS seiring terjadinya krisis bahan bakar.

Kondisi itu berdampak pada pertumbuhan perekonomian AS yang negatif selama lima kuartal berturut-turut. Tingkat inflasi tumbuh dua kali lipat pada tahun 1973 dan mencapai double digit pada 1974. Bahkan, per Mei 1975 tingkat pengangguran AS mencapai 9 persen.

Stagflasi ini juga menyebabkan kenaikan indeks kesengsaraan atau misery index. Indeks ini merupakan ukuran sederhana yang bersumber dari tingkat inflasi dan pengangguran dan digunakan untuk menunjukkan seberapa buruk kondisi masyarakat ketika stagflasi terjadi di sebuah ekonomi atau negara.

Stagflasi juga disebut sebagai kondisi yang kontradiktif, karena pertumbuhan ekonomi yang lambat serta angka pengangguran tinggi secara teori seharusnya tidak berdampak kepada kenaikan harga-harga atau inflasi. Hal inilah yang menyebabkan stagflasi merupakan kondisi yang buruk bagi perekonomian sebuah negara.

Memperbaiki stagflasi menuntut inflasi dan menstimulasi ekonomi pada saat yang bersamaan, dan itu sangat sulit dilakukan. Kebijakan moneter yang merangsang ekonomi biasanya malah cenderung memperburuk inflasi, dan kebijakan yang menekan inflasi sering menekan ekonomi.

Peningkatan angka pengangguran juga berdampak pada melemahnya daya beli. Sehingga, bila terjadi kenaikan harga-harga karena pasokan atau suplai barang yang terbatas, kondisi inflasi menjadi makin tidak terkendali. Artinya, uang yang dimiliki konsumen akan kehilangan nilainya seiring dengan berjalannya waktu.

Risiko stagflasi tengah menghantui Inggris yang resmi masuk ke jurang resesi. Dari survey yang dilakukan National Institute of Economic and Social Research (NIESR) menyimpulkan bahwa ekonomi Inggris sedang menuju ke periode stagflasi dengan inflasi tinggi dan resesi memukul ekonomi secara bersamaan.

Survei itu mencatat rata-rata pendapatan nyata yang dapat dibelanjakan akan turun 2,5 persen. Diperkirakan jumlah rumah tangga yang hidup dari gaji ke gaji hampir dua kali lipat menjadi 7 juta pada 2024. Angka tersebut termasuk 5,3 juta rumah tangga yang tidak memiliki tabungan sama sekali.

Baca Juga  Xiaomi Siap Kuasai Pasar EV dengan Peluncuran Sedan SU7

 

Stagflasi dimaknai sebagai kondisi ekonomi yang terus melambat dan biasanya disertai dengan kenaikan harga-harga pokok (inflasi) yang konstan. Kondisi stagflasi ini dapat terjadi akibat hiperinflasi dan juga tingkat pengangguran yang semakin tinggi di suatu negara.

Artinya, stagflasi merupakan kondisi lanjutan akibat pemburukan hiperinflasi. Itulah sebabnya, stagflasi juga disebut-sebut terminologi yang digabungkan dari istilah stagnasi dan inflasi. Istilah ini pertama kali dipakai sekitar tahun 1960-an oleh politisi Inggris Macleod di tengah kondisi ekonomi yang tertekan kala itu.

Saat memberikan pidato di Dewan Rakyat Britania Raya, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris sebagai situasi stagflasi. Istilah ini lalu kembali disebutkan saat periode resesi pada 1970-an di AS seiring terjadinya krisis bahan bakar.

Baca Juga  BPK Minta Pemerintah Terus Tingkatkan Kualitas APBN

Kondisi itu berdampak pada pertumbuhan perekonomian AS yang negatif selama lima kuartal berturut-turut. Tingkat inflasi tumbuh dua kali lipat pada tahun 1973 dan mencapai double digit pada 1974. Bahkan, per Mei 1975 tingkat pengangguran AS mencapai 9 persen.

Stagflasi ini juga menyebabkan kenaikan indeks kesengsaraan atau misery index. Indeks ini merupakan ukuran sederhana yang bersumber dari tingkat inflasi dan pengangguran dan digunakan untuk menunjukkan seberapa buruk kondisi masyarakat ketika stagflasi terjadi di sebuah ekonomi atau negara.

Stagflasi juga disebut sebagai kondisi yang kontradiktif, karena pertumbuhan ekonomi yang lambat serta angka pengangguran tinggi secara teori seharusnya tidak berdampak kepada kenaikan harga-harga atau inflasi. Hal inilah yang menyebabkan stagflasi merupakan kondisi yang buruk bagi perekonomian sebuah negara.

Memperbaiki stagflasi menuntut inflasi dan menstimulasi ekonomi pada saat yang bersamaan, dan itu sangat sulit dilakukan. Kebijakan moneter yang merangsang ekonomi biasanya malah cenderung memperburuk inflasi, dan kebijakan yang menekan inflasi sering menekan ekonomi.

Peningkatan angka pengangguran juga berdampak pada melemahnya daya beli. Sehingga, bila terjadi kenaikan harga-harga karena pasokan atau suplai barang yang terbatas, kondisi inflasi menjadi makin tidak terkendali. Artinya, uang yang dimiliki konsumen akan kehilangan nilainya seiring dengan berjalannya waktu.

Risiko stagflasi tengah menghantui Inggris yang resmi masuk ke jurang resesi. Dari survey yang dilakukan National Institute of Economic and Social Research (NIESR) menyimpulkan bahwa ekonomi Inggris sedang menuju ke periode stagflasi dengan inflasi tinggi dan resesi memukul ekonomi secara bersamaan.

Survei itu mencatat rata-rata pendapatan nyata yang dapat dibelanjakan akan turun 2,5 persen. Diperkirakan jumlah rumah tangga yang hidup dari gaji ke gaji hampir dua kali lipat menjadi 7 juta pada 2024. Angka tersebut termasuk 5,3 juta rumah tangga yang tidak memiliki tabungan sama sekali.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *