in ,

Tax Reform: Efektifkah Mendorong Partisipasi Pajak UMKM?

Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia memegang peran yang besar dalam perekonomian di Indonesia, menyumbang sebesar kurang lebih 27% dari total PDB Indonesia dan menyerap hampir 97% tenaga kerja Indonesia. Tetapi, kontribusinya terhadap penerimaan pajak belum optimal, di mana rasio penerimaan PPN terhadap PDB hanya sebesar 3,75% dan kontribusi dari sektor UMKM terhadap total penerimaan pajak hanya sekitar 0,5% dari total penerimaan pajak Indonesia (Ibrahim, 2013).

UMKM merupakan Wajib Pajak yang berpenghasilan bruto sampai dengan Rp4,8 M. Wajib Pajak UMKM Orang Pribadi dengan laba di atas 6% dan UMKM badan dengan penghasilan neto di atas 4% dari penghasilan bruto dianjurkan menggunakan tarif pajak sesuai dengan ketentuan PP 23 tahun 2018, yakni menggunakan tarif PPh Final 0,5%.

Bagi Wajib Pajak UMKM Orang pribadi dengan laba di bawah 6% dari penghasilan bruto sebaiknya menggunakan tarif pajak sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh. Bagi UMKM Badan dengan laba dibawah 4% dari penghasilan bruto sebaiknya menggunakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan fasilitas Pasal 31E UU PPh. Dengan menggunakan tarif pajak berdasarkan pembagian kriteria sesuai dengan penghasilan ini, maka UMKM akan mendapat keringanan karena jumlah pajak yang harus disetor menjadi lebih rendah.

Pajak sebagai sumber penerimaan utama negara, menyumbang sebesar 84,8% dari total pendapatan negara (Direktorat Penyusunan APBN, 2017). Tax reform diusung dan dijalankan sebagai upaya meningkatkan penerimaan dari perpajakan dengan cara mengubah sistem perpajakan secara signifikan yang mencakup pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak.

Pada tahun 2018 pemerintah menetapkan pengganti PP-46/2013, yaitu PP-23/2018 dengan topik yang sama yaitu pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh oleh WP yang memiliki penerimaan bruto tertentu. Terdapat perubahan cukup signifikan dari aturan sebelumnya yang kini diatur dalam PP-23/2018, di antaranya penurunan tarif pajak menjadi 0,5% dan diberikannya kebebasan kepada WP untuk memilih antara menggunakan aturan ini atau tetap menggunakan aturan PPh sebelumnya sesuai UU No. 36 tahun 2008 tentang PPh.

Baca Juga  Kemenkeu Satu Jateng Asistensi UMKM Lapor SPT

PP-23/2018 merupakan kebijakan insentif pajak yang juga membahas mengenai batas waktu bagi berbagai subyek WP untuk melunaskan kewajibannya, yakni, 1) bagi subyek pajak orang pribadi, insentif diberikan dengan jangka waktu selama 7 tahun; 2). Bagi subyek usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT), insentif diberikan dengan jangka waktu selama 3 tahun; 3). Bagi subyek pajak usaha berupa CV, firma, dan koperasi diberikan dengan jangka waktu selama 4 tahun. Jangka waktu kebijakan terbagi atas 1) bagi wajib pajak (WP) lama berlaku sejak tahun pajak regulasi; 2) bagi WP baru berlaku sejak tahun pajak terdaftar.

Penerapan aturan ini diharapkan dapat mengefektifkan otoritas pajak di Indonesia serta mendorong kepatuhan perpajakan UMKM. Model presumptive tax diterapkan melalui PP-46/2013 dan PP-23/2018 untuk memberi keringanan dan kemudahan bagi WP UMKM.

Pemberian insentif PPh ini bagi UMKM adalah salah satu kebijakan fiskal yang pemerintah fasilitasi bagi UMKM dengan tujuan memberikan stimulus kepatuhan perpajakan pada. Adanya PP-23/2018 merupakan bentuk insentif pajak untuk meringankan beban perpajakan bagi UMKM. Kebijakan pemberian potongan pajak dari omzet bruto sebesar 0,5% tentulah menjadi dorongan dan stimulus bagi UMKM agar aktif dan patuh membayar pajak mereka.

Baca Juga  Ketentuan, Jenis, dan Bentuk Bupot PPh 21/26 Sesuai PER-2/2024

PP-23/2018 bila ditinjau dari sisi pelaku usaha, kebijakan penurunan tarif ini diharapkan dapat menstimulasi tumbuhnya jumlah  UMKM baru yang berkembang serta memberikan ruang finansial atau kesempatan berusaha, di mana UMKM dapat melakukan ekspansi usaha sebagai dampak berkurangnya beban biaya (Sari, 2018).

Rata-rata usaha mikro dan kecil memiliki profit margin di atas 10%, sedangkan usaha menengah memiliki margin profit di bawah 10%. Penerapan single rate dengan omzet sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) seperti ini dianggap tepat guna mengurangi moral hazard usaha menengah yang memiliki peredaran usaha sedikit di atas 4,8 miliar rupiah setahun untuk memanipulasi seakan-akan peredaran usahanya kurang dari 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun demi mendapatkan keringanan perpajakan.

Besaran single rate sebesar 0,5% pada PP-23/2018, dapat dikatakan termasuk rendah, dibanding single rate sebesar 1% pada PP-46/2013. Penentuan tarif pajak yang tinggi memang bisa menjadi disinsentif bagi WP dalam pemenuhan kewajibannya, namun penentuan tarif pajak yang terlalu rendah malah dapat menimbulkan moral hazard, yakni  upaya dari pelaku usaha untuk menghindar dari kewajiban menjadi pemungut PPN sehingga jumlah WP UMKM menjadi relatif rendah.

Penerapan PP-23/2018 menghasilkan pertumbuhan jumlah WP yang positif, di mana jumlah UMKM yang membayar pajak hanya 400 ribu orang pada 2014 melonjak jadi 2 juta atau naik lebih dari 4 kali lipat pada tahun 2019.

Berdasarkan hasil pengujian statistik yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Duta Bangsa Surakarta dan hasil survey pada WP UMKM di wilayah Kota Surakarta diketahui bahwa penerapan PP-23/2018 berpengaruh terhadap kepatuhan WP. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yaitu antara  lain adanya  penurunan tarif  pajak  yang  semula  1%  dan  0,5%,  karena  dengan  adanya penurunan  tersebut  menjadikan  beban  pajak  yang  harus  di  bayar  lebih  kecil  dan  tidak memberatkan UMKM. Penelitian lain di Kota Tomohon juga mendapati terjadinya peningkatan WP UMKM yang melakukan pembayaran dengan persentase sebesar 41,20%.

Baca Juga  Jokowi Apresiasi BRI dalam Pengembangan UMKM

Sumber rujukan artikel:

Meikhati, E., & Widi Kasetyaningsih, S. (2019). PENGARUH PENERAPAN PP 23 TAHUN 2018 TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK UMKM. http://prosiding.stie-aas.ac.id/index.php/prosenas/article/view/28/27

Apriadi, Harry. (2018). ANALISIS PERLAKUAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) BAGI USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM) DI INDONESIA. https://journal.ugm.ac.id/abis/article/view/58801

Sularsih, Hermi. (2018). DAMPAK PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NO 23 TAHUN 2018 TERHADAP PENINGKATAN PAJAK UMKM DI KOTA MALANG. https://doi.org/10.37328/jamswap.v3i3.96

Siallagan, B., Ilat, V., & Runtu, T. (2020). EVALUASI PENERIMAAN PAJAK USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) PASCA PENERBITAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018 DI KOTA TOMOHON. doi: https://doi.org/10.32400/gc.15.3.28876.2020

Lintang Theodikta, M., & Widyawati, D. (2019). Aturan pajak penghasilan khusus bagi sektor umkm dan partisipasi pengusaha kecil. FORUM EKONOMI, 21 (2) 2019, 177-191. http://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/FORUMEKONOMI

Tax Reform Has The Potential to Lower Tax Gap to Normal Levels. (2021). https://www.kemenkeu.go.id/en/publications/news/tax-reform-has-the-potential-to-lower-tax-gap-to-normal-levels/

Pemerintah Bakal Evaluasi Fasilitas Pajak UMKM, Ada Apa?. (2020). https://news.ddtc.co.id/pemerintah-bakal-evaluasi-fasilitas-pajak-umkm-ada-apa-24681?page_y=1689

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *