Kalau ditanya tentang kewajiban rakyat yang paling terlihat, ya tentu jawabannya pajak. Pajak adalah sebuah kontribusi kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan, yang sifatnya memaksa. Sekali lagi, memaksa. Hal tersebut secara telak menunjukan bahwa ada konsekuensi jika terdapat kelalaian dalam membayar pajak. Konsekuensi tersebut diatur pada Pasal 41, 41a sampai dengan 41c Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jenis-jenis pajak yang akrab di telinga kita adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan). PPN biasa kita jumpai pada struk pembayaran ketika kita makan di restoran atau di cafe. Tarif PPN yang diberlakukan sekarang sebesar 10%. Namun, akhir-akhir ini regulasi perpajakan mengalami perubahan yang diatur pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Yang menjadi pertanyaan adalah:
Kenapa Sih Regulasi Perpajakan Diubah?
Sebuah regulasi diubah tentu dengan alasan yang kuat. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perubahan regulasi perpajakan. Keadaan Indonesia khususnya pada bidang ekonomi cukup memprihatinkan karena diserang pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2020 menyentuh angka minus 3,49 persen (-3,49%) dan defisit APBN mencapai 6,14% dari PDB. Defisit APBN harus kembali pada angka kurang dari -3% pada tahun 2023. Selain itu, meninjau dari Laporan APBN KiTa yang dipublikasi oleh Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada 2020 hanya mencapai 925,34 triliun atau hanya terealisasi sebesar 77,19% dari target. Penerimaan pajak pada tahun 2020 turun sebesar 18,55% dibandingkan dengan tahun 2019.
Dengan berbagai alasan dan kondisi yang sudah penulis paparkan di atas, penerimaan negara harus ditingkatkan sepanjang tahun 2022. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan negara tentunya melalui pajak. Beberapa langkah yang diambil meliputi, tarif PPN naik menjadi 11% pada April 2022. Kemudian, adanya Pajak Natura (pajak atas kenikmatan) yang juga berlaku mulai 2022, dan ada Pajak Karbon yakni pajak yang dikenakan atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30/kilogram dan mulai berlaku pada April 2022. Selain itu, ada sebuah rancangan baru dari pemerintah dimana NIK (Nomor Induk Kependudukan) bisa digunakan sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), hal ini ditujukan untuk mengintegrasikan basis data kependudukan dan basis data perpajakan. Pemberlakuan NIK sebagai NPWP tertera pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Pasal 2 Ayat 1a. Menggunakan NIK sebagai NPWP akan mempermudah berbagai pihak, termasuk wajib pajak. Selain itu, kebijakan ini berkemungkinan meningkatkan jumlah penerimaan pajak.
Pajak Karbon dan Pajak Natura, Memajaki Orang Kaya?
Karbon setelah ini akan dikenakan pajak, lho!. Berkaitan dengan pemulihan defisit anggaran, adjustment terhadap perpajakan terus digalakkan, salah satu inovasi yang muncul adalah pajak karbon ini sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan, khususnya pada Pasal 13 dijelaskan secara lengkap mengenai pajak karbon. Disana tertera bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan efek negatif kepada lingkungan hidup. Selain meningkatkan penerimaan negara, pajak karbon juga efektif untuk mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh emisi karbon. Kemudian, pajak karbon juga mengindikasikan bahwa pengenaan pajak merata. Tidak hanya dibebankan pada masyarakat kecil namun juga pada masyarakat menengah ke atas. Ini juga merupakan upaya untuk mengentaskan ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Selanjutnya adalah pajak natura. Natura merupakan pemberian barang atau kenikmatan yang tidak berbentuk uang. Pada 2022 mendatang, kenikmatan berupa fasilitas yang diberikan dikenai pajak. Namun, tetap ada beberapa pengecualian objek pajak yang diatur pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Pasal 4 Ayat 3a sampai dengan 3c.
PPN Naik dengan Skema Multitarif, Ini Pendapat Rakyat
Kenaikan PPN tidak diterapkan untuk semua kebutuhan pokok, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mencanangkan skema multi tarif. Multi tarif adalah pengenaan PPN yang melebihi satu tarif, yakni tarif untuk barang pokok, barang reguler, dan barang mewah. Dalam kenaikan PPN ini, tarif lebih tinggi diberikan pada bahan pokok premium, seperti beras premium dan daging premium. Selain itu, tarif khusus yang lebih tinggi juga dikenakan pada jasa pendidikan seperti sekolah internasional. Namun, apakah dengan begitu keadilan dapat terlaksana di negara tercinta kita? bukankah secara tidak langsung pemerintah menegaskan bahwa masyarakat dengan kelas ekonomi bawah tidak perlu mengonsumsi atau menggunakan layanan jasa pendidikan yang jauh lebih layak. Lebih dari itu, apakah kenaikan PPN ini baik diberlakukan ketika ekonomi baru saja pulih? ketika pelaku usaha kecil bahkan belum mampu mengganti kerugian selama pandemi. Kebijakan menaikan tarif PPN menggambarkan bahwa upaya pemulihan ekonomi hanya dibebankan pada penerimaan pajak. Padahal ada sumber penerimaan negara lain yang dapat dimaksimalkan seperti PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)
Referensi:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246).
Kementerian Keuangan, 2020. APBN Kita Edisi Desember 2020, Kinerja dan Fakta.
Kementerian Keuangan, 2021. APBN Kita Edisi Desember 2021, Kinerja dan Fakta.
Comments