in ,

UNS Gelar ACT 2023, Tingkatkan Pemahaman Kebijakan Pajak Berkelanjutan

UNS ACT
FOTO: Aldino Kurniawan

UNS Gelar ACT 2023, Tingkatkan Pemahaman Kebijakan Pajak Berkelanjutan

Pajak.com, Jakarta – Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Perpajakan Sekolah Vokasi Unversitas Sebelas Maret (UNS) menggelar Annual Conference of Taxation (ACT) ke-7 tahun 2023. Beberapa kegiatan ACT ke-7 ini, meliputi webinar bertajuk Peran dan Tantangan Perpajakan Nasional dalam Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dan Tax Essay National Competition (Taxnation). Ketua Prodi Perpajakan Vokasi UNS Trisninik Ratih berharap, ACT dapat memberikan informasi, serta pengembangan pola pikir mahasiswa maupun masyarakat umum mengenai kebijakan perpajakan untuk ekonomi berkelanjutan.

“Sumber penerimaan negara yang utama adalah pajak, yang digunakan untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat.  Pembangunan negara tergantung pada penerimaan pajak dan pendapatan negara. Untuk itu, diharapkan dengan adanya seminar yang diisi oleh pemateri-pemateri luar biasa dibidangnya, akan memberikan pemahaman yang utuh kepada mahasiswa dan peserta webinar,” ungkap Trisninik dalam sambutannya, dikutip Pajak.com (27/6).

Pegawai Senior Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rosyid Bagus Ginannjar Habibi sebagai pemateri pertama menyebutkan, pendapatan negara menunjukkan tren yang positif hingga akhir April 2023 sebesar Rp 1.000,5 triliun atau 40,6 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang senilai Rp 2.463 triliun.  Ia memerinci, pendapatan negara itu meliputi penerimaan perpajakan sebesar Rp 782,7 triliun atau tumbuh 15,8 persen serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 217,8 triliun atau tumbuh 22,8 persen.

“(Penerimaan) perpajakan, terdiri dari penerimaan pajak Rp 688,15 triliun atau tumbuh 21,3 persen, serta dari penerimaan bea dan cukai Rp 94,5 triliun. Kemudian, pertumbuhan realisasi PNBP hingga April 2023 tumbuh 22,8 persen. Pendapatan negara kita hingga April 2023 menunjukkan terjaganya resiliensi APBN walaupun pemerintah tetap mewaspadai moderasi penerimaan negara ke depannya akibat penurunan harga komoditas, energi, dan pangan,” ujar Bagus.

Baca Juga  Perspektif Provisio Consulting tentang Efektivitas Penyelesaian Sengketa Pajak pada “Core Tax”

Kendati demikian, optimisme tercapainya target pendapatan negara tahun 2023 tecermin dari tingkat pengangguran dan kemiskinan yang konsisten semakin menurun. Menurut Bagus, ini merefeleksikan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas.

“Pertumbuhan ekonomi kita hingga kuartal I-2023 tumbuh sebesar 5,03 persen dengan laju inflasi yang relatif stabil 0,33 persen. Seluruh sektor kuat dan stabil sehingga berkontribusi besar terhadap perekonomian kita. Optimisme kita terhadap penerimaan pajak juga bisa dilihat dari kepatuhan penyampaian SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan, yakni sebanyak 17,20 juta, bahkan justru bertumbuh (2,89 persen) meskipun adanya isu-isu negatif mengenai oknum di DJP (Direktorat Jenderal Pajak),” ujar Bagus.

Ia menekankan, bahwa penerimaan pajak yang solid akan berimplikasi pada pendapatara negara yang cukup untuk belanja negara. APBN tetap solid dan resilient menjaga momentum pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

“Untuk mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, diperlukan kebijakan pajak yang mendukung aktivitas masyarakat. Salah satunya baru-baru ini kami di BKF merumuskan dan menerbitkan aturan pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 11 persen untuk rumah tapak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah mulai 12 Juni 2023 lalu,” kata Bagus.

Dengan demikian, pajak tak hanya sekadar penopang pendapatan negara, melainkan menjalankan fungsi mengatur (regulerend)—alat untuk mencapai tujuan keberlanjutan pemulihan ekonomi.

“Pada Presidensi G20, seluruh negara membahas mengenai kebijakan perpajakan, seperti bagaimana kebijakan insentif pajak berbasis gender atau gender based taxtation (GBT), aset kripto, Inclusive Framework Pilar Satu dan Dua (hak pemajakan ekonomi digital), serta pajak karbon. Semua kebijakan pajak ini dibahas untuk mewujudkan sistem pemajakan yang adil dan sebagai alat untuk sama-sama meningkatkan pertumbuhan ekonomi global,” kata Bagus.

Baca Juga  Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk dan Serahkan Alat Belajar Tunanetra

Pada kesempatan yang sama, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP menguraikan, urgensi penerapan pajak karbon di Indonesia. Ia mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan rentan akan risiko perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut yang berimplikasi pada bencana dan kemiskinan (krisis pangan).

“Perubahan Iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, yang saat ini mencapai 80 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia. Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen sampai dengan 3,45 persen produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2030. Belum lagi secara anggaran,  Selama 2016-2019, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim sebesar Rp 86,7 triliun per tahun. Artinya, APBN telah berkontribusi sekitar 32,6 persen per tahun dari total kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim yang rata-rata memerlukan Rp 266,2 triliun per tahun,” ungkap Timon.

Untuk itu, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah akan mengenakan pajak atau pungutan atas karbon (carbon tax). Pajak karbon dikenakan atas kandungan karbon atau aktivitas mengemisi karbon.

“Dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, maka perlu dikenakan pajak karbon. Selain pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi, penerimaan pajak karbon juga dapat digunakan untuk menambah dana pembangunan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial,” ujar Timon.

Baca Juga  Kanwil DJP Jakut Catatkan Penerimaan Pajak Rp 12,4 T per 31 Maret 2024

Executive Director of Ortax Daniel Belianto menambahkan, Peran kebijakan fiskal dalam aktivitas ekonomi sangat fundamental karena bersifat dua arah kepada rumah tangga dan pelaku usaha. Ia berharap, kebijakan fiskal dapat menjadi pendorong perekonomian.

“Kebijakan pajak atau kebijakan fiskal bertujuan memperoleh pendapatan dari pajak, dapat berfungsi sebagai control. Di lain sisi, juga bisa memberikan stimulus melalui transfer payment berupa public goods and services,” ungkap Daniel.

Di akhir acara, panitia mengumumkan penemang Tax Essay National Competition (Taxnation) ACT 2023, yaitu:

  • Juara ke-1 dimenangkan oleh kelompok Decimal (beranggotakan Bhaskara Praja, Destiny Wulandari, dan Yuninda Anggraini Putri), dengan judul esai Insentif Pajak versus Dua Pilar: Mana yang Harus Mengalah?
  • Juara ke-2 diraih oleh kelompok Choi Family (Tri Yofan Agusti Rahmat Dan, Anisa Putri Khairina, dan Intan Safina Azura), dengan judul esai Mendorong Kepatuhan Wajib Pajak melalui Kebijakan Fiskal Indonesia; dan
  • Juara ke-3 dimenangkan oleh kelompok WP Corp (Bintang Adi Pratama, Muhammad Agra Ramadhani, dan Kartika Nurmalitasari), dengan judul esai Bisa Pajak, Platform Edukasi dan Konsultasi Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Ketaatan Wajib Pajak. 

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *