in ,

Tren Efektivitas Penyelesaian Sengketa Pajak

Penyelesaian Sengketa Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

Tren Efektivitas Penyelesaian Sengketa Pajak

Pajak.com, Jakarta – Berdasarkan data Pengadilan Pajak, jumlah penyelesaian sengketa pajak pada tahun 2022 mencapai 15.561 atau naik 20 persen dari tahun 2021 yang sebanyak 12.959 sengketa. Dari total sengketa pajak yang telah diputuskan, majelis hakim pajak telah mengabulkan sebanyak 9.378 banding atau gugatan Wajib Pajak. Lantas, bagaimana penyelesaian sengketa pajak yang efektif? Dan, apakah ada tren peningkatan sengketa pajak di sektor tertentu? Tax Litigation and Dispute Manager TaxPrime Firman Muttaqien akan membagikan pengalaman dan analisis tren efektivitas penyelesaian sengketa pajak untuk Anda.

Firman mengungkapkan, secara umum, peningkatan sengketa pajak terjadi karena beberapa faktor, utamanya perubahan peraturan perpajakan yang begitu dinamis sehingga membuat Wajib Pajak kesulitan memahami peraturan sekaligus menerapkan peraturan baru tersebut yang berdampak kepada pemenuhan kewajiban perpajakannya.

“Peraturan pajak adalah peraturan yang sangat dinamis yang cepat menyesuaikan dengan situasi ekonomi dan bisnis perusahaan. Impact-nya adalah semakin sulitnya Wajib Pajak memahami dan mengimplementasikan aturan-aturan baru tersebut. Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah fokus meningkatkan pemeriksaan pajak setelah program tax amnesty atau PPS (Program Pengungkapan Sukarela), pemeriksaan pajak menjadi lebih ketat, DJP semakin intensif dalam memeriksa laporan pajak Wajib Pajak (Surat Pemberitahuan/SPT tahunan atau masa),” jelasnya kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, (25/5).

Firman menyebutkan, TaxPrime memiliki pedoman dalam melakukan litigasi (proses penyelesaian) sengketa pajak yang efektif. Pertama, kepatuhan hukum. Firman memastikan, TaxPrime selalu berpegang pada aspek legalitas dalam melakukan litigasi sengketa pajak sehingga Wajib Pajak dapat terhindar dari risiko yang lebih berpotensi merugikan.

“Semua upaya yang dilakukan oleh TaxPrime dalam litigasi harus sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, mulai dari keberatan, banding, gugatan, peninjauan kembali, kami lakukan dan ikuti sesuai dengan regulasi yang mengikatnya,” jelas Firman.

Kedua, transparansi dan integritas. TaxPrime selalu mengedepankan transparansi dan integritas dalam melakukan litigasi sengketa pajak. Firman menjelaskan, transparansi juga menyangkut pada bagaimana TaxPrime menjalin komunikasi yang efektif, baik kepada Wajib Pajak atau klien maupun otoritas, DJP maupun unit vertikalnya—Kantor Wilayah (Kanwil) DJP/Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

“TaxPrime berkomunikasi secara efektif dengan klien dan pihak-pihak terkait dalam proses litigasi sengketa pajak. TaxPrime mengutamakan komunikasi yang terbuka dan jelas dalam setiap tahap proses litigasi. Kami selalu berusaha memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada klien, termasuk tentang risiko dan konsekuensi dari keputusan yang diambil dalam litigasi. Karena penting untuk diingat, proses sengketa pajak dapat memakan waktu dan biaya yang besar. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan pilihan dengan hati-hati,” kata Firman.

Baca Juga  DJP dan Australia Sepakat Tingkatkan Deteksi Potensi Kewajiban Pajak Kripto

Ketiga, analisis risiko. Firman menegaskan, TaxPrime dipastikan melakukan analisis risiko yang cermat terhadap setiap kasus sengketa pajak yang ditangani. Semua proses tahapan penyelesaian sengketa pajak diselesaikan secara komprehensif dan terukur demi memitigasi risiko yang akan merugikan Wajib Pajak. Dalam proses litigasi, kami mencoba memperkuat argumen dengan bukti yang relevan dan analisis yang tepat. Dengan mendasarkan pada hukum yang berlaku dan interpretasi yang benar. Menyusun argumen yang kuat dan terstruktur dapat meningkatkan peluang kita untuk berhasil dalam litigasi sengketa pajak

“Kami mempertimbangkan kemungkinan hasil yang dapat dicapai dan risiko yang terkait dengan setiap strategi yang diambil dalam litigasi. Kami akan melakukan assessment dalam menerima suatu kasus sengketa pajak dengan cara mempelajari fakta-fakta, dasar hukum koreksi ataupun argumentasi yang akan kami gunakan, melihat dokumen yang tersedia, melakukan research peraturan dan putusan-putusan sengketa sejenis, serta membuat tax exposure dan tax risk agar kami mendapatkan informasi yang komprehensif untuk memberikan saran kepada klien, apakah kasus ini tetap akan diajukan kepada proses selanjutnya atau tidak,” jelas Firman.

Keempat, TaxPrime berupaya untuk  menempuh mediasi dalam mengatasi sengketa pajak. Firman menjelaskan, mediasi dimaksudkan untuk mengambil langkah yang lebih efektif dan efisien. Mediasi mungkin dapat menjadi cara yang efektif untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan tanpa harus melalui proses peradilan yang panjang dan mahal.

“Apabila kasusnya memang lemah, maka kami akan menyarankan klien untuk menempuh dengan jalur lain yang lebih favorableMisalnya, sebelum mengajukan keberatan dan banding, kami mencoba memberikan pilihan, antara lain mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, yang dapat di combine dengan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Proses keberatan memang dapat membantu mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar atau bahkan membatalkan seluruh jumlah pajak yang harus dibayar.  Namun, hasil proses keberatan mungkin saja menambah yang diajukan, oleh karena itu kita pastikan semua itu dilakukan secara hati-hati,” ungkap Firman.

Kelima, TaxPrime akan mengutamakan keberlanjutan bisnis Wajib Pajak. Sejatinya, paradigma ini juga harus menjadi acuan bagi DJP. Firman meyakini, spirit pemerintah melalui DJP ingin mendorong kepastian hukum sehingga bisnis dapat berkembang dan kontribusi penerimaan pun meningkat.

“Kami selalu mempertimbangkan kepentingan jangka panjang klien dalam melakukan litigasi sengketa pajak. TaxPrime pastinya berupaya untuk mencapai hasil yang terbaik untuk klien, tanpa mengabaikan keberlanjutan bisnis klien dan hubungan baik dengan otoritas pajak. Oleh karena itu, kami akan selalu berusaha menjaga keduanya agar dapat berjalan dengan seimbang,” kata Firman.

Baca Juga  Mengenal Tobin Tax: Definisi, Tujuan, dan Tantangan Penerapannya

Tren sektor 

Firman menekankan, semua sektor bisnis dan industri berpotensi mengalami sengketa pajak apabila tidak memahami dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Namun, ia menganalisis, memang ada beberapa sektor bisnis dan industri yang memiliki risiko atau potensi yang lebih tinggi untuk mengalami sengketa pajak dibandingkan sektor lainnya.

Firman merujuk kepada Surat Edaran (SE) Nomor 05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak, ada beberapa fokus industri yang dalam pengawasan kepatuhan sehingga rentan akan pemeriksaan terhadap industri tersebut, diantaranya pertama, sektor perdagangan dan ekonomi digital.

“Seperti industri start-up fintech contoh kasus yang sering jadi sengketa adalah cashback and voucher terkait biaya promosi dan SE-24/PJ/2018, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) digunggung (fintech P2P lending) dimana belum ada private rulling. Ada juga dividen terselubung terkait loan from shareholder termasuk rate bunga diatas kelaziman, bad debt expense (BDE), atau PPN atas objek penghasilan yang masih grey area,” ungkapnya.

Kedua, sektor jasa. Firman memberi contoh sengketa pajak dalam sektor jasa yang jamak terjadi, antara lain pada industri multifinance terkait aset yang dilelang atau dijual, AYDA (aset yang diambil alih), biaya pinjaman yang di-reverse karena dianggap income, PPN atas diskon asuransi, dan sebagainya. 

Ketiga, sektor sumber daya alam (SDA), seperti sektor komoditas, dan pertambangan. Firman menyebut, sengketa pajak yang kerap timbul adalah terkait insentif/fasilitas (BIK), proporsi biaya antar-grup, penyusutan aset, dan lainnya.

Ketiga, sektor perbankan. Firman menuturkan, sengketa pajak yang kerap terjadi biasanya mengenai pencadangan PPAP (penyisihan penghapusan aktiva produktif), objek VAT, write off asset, PPN AYDA, interest dari NPL (non-performing loan), loan to employee yang sekarang dianggap BIK dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang secondary adjustment-nya bisa menjadi Objek PPh 21 dan lain sebagainya.

“Selain itu, DJP juga punya acuan SE- 15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak, di mana DJP akan menyusun poin indikasi Wajib Pajak yang akan menjadi Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3) Penyusunan peta kepatuhan Wajib Pajak. Misalnya, indikasi ketidakpatuhan tinggi (adanya tax gap), memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki  hubungan istimewa, terutama dengan pihak afiliasi  yang berkedudukan di tax heaven countries, Wajib Pajak punya transaksi afiliasi dalam negeri (intra-group transaction) dengan nilai transaksi lebih dari 50 persen dari total nilai transaksi atau punya transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki kompensasi kerugian, dan lainnya. Ada juga terdapat hasil analisis IDLP (informasi, data, laporan, dan pengaduan dan/atau center for tax analysis,” urai Firman.

Baca Juga  Kurs Pajak 27 Maret – 2 April 2024

Dengan demikian, menurutnya, Wajib Pajak yang termasuk dalam kategori tersebut akan dijadikan sasaran pemeriksaan, dimana produk hukum pemeriksaan akan membuka potensi terjadinya sengketa pajak.

Berdasarkan pengalamannya di divisi Litigation and Dispute TaxPrime, Firman mengungkapkan kasus sengketa pajak yang sering terjadi adalah sengketa terkait metode tidak langsung yang dilakukan pemeriksa, seperti ekualisasi peredaran usaha, arus piutang dan ekualisasi biaya lain yang masih dipertahankan dan belum terselesaikan ditingkat pemeriksaan, sehingga tetap diajukan secara bertahap, baik pada tingkat keberatan hingga peninjauan kembali. Selain itu, dipos PPh badan,  sengketa yuridis terkait dengan biaya yang dapat dibebankan secara fiskal (Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh) juga masih sering terjadi.

“Dalam 3 tahun terakhir, kasus yang ditangani TaxPrime, khususnya di divisi kami mayoritas soal sengketa PPh badan dan PPN. Di lapangan, banyak terdapat perbedaan persepsi/penafsiran terkait dasar hukum aturan yang masih menjadi perdebatan, sehingga diajukan upaya hukum lanjutan contohnya adalah biaya yang dapat dibebankan secara fiskal (Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh). Begitupun dengan sengketa PPN sendiri, yang sering kali diajukan adalah sehubungan DPP penyerahan PPN, serta pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagai akibat terdapat perbedaan penafsiran (yuridis) antara DJP maupun Wajib Pajak,” ungkap Firman.

Selain itu, sengketa transfer pricing juga selalu muncul karena menjadi koreksi primadona pada saat pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP.

“Hampir disetiap pemeriksaan, pasti ada koreksi transfer pricing karena nilainya yang cukup signifikan sehingga menjadi poin concern pemeriksa. Sengketa yang kerap terjadi, misalnya, sehubungan dengan pembuktian eksistensi biaya, pemilihan profit level indicator (PLI), pembanding yang menjadi acuan, pembayaran royalti hingga masalah kewajaran biaya dan omzet,” ujar Firman.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *