Transaksi Perpajakan Gunakan NIK Mulai 1 Januari 2024
Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo menegaskan, seluruh transaksi perpajakan gunakan NIK mulai 1 Januari 2024. Meski NIK akan mengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bukan berarti seluruh masyarakat yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus membayar pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 4,5 juta per bulan.
“Bukan berarti NIK sebagai NPWP memaksa orang di bawah PTKP harus bayar pajak. NIK merupakan sarana pada waktu kita melakukan administrasi perpajakan dan ini yang kami letakkan pada waktu kami membangun sistem inti administrasi perpajakan yang baru. Wajib Pajak bisa masuk ke platform kami dan bisa melakukan hak dan kewajiban perpajakan dengan NIK sepenuhnya mulai 1 Januari 2024,” ungkap Suryo dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP, (2/8).
Seperti diketahui, integrasi NIK dan NPWP merupakan amanah dari UU HPP yang secara spesifik diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
Sebelumnya, DJP dan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan adendum atas perjanjian kerja sama untuk mengintegrasikan NIK dan NPWP. Adendum ini diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 yang mewajibkan pencantuman NIK dan/atau NPWP dalam layanan publik.
Dalam perpres itu, kegiatan pemadanan, pemutakhiran data kependudukan, serta basis perpajakan wajib dilaksanakan. Suryo mengungkapkan, saat ini baru 19 juta NIK yang sudah dilakukan pemadanan data, sehingga bisa digunakan sebagai NPWP.
“Bagi Wajib Pajak yang belum tervalidasi NIK-nya, tetap bisa mengakses layanan perpajakan menggunakan NPWP lama hingga akhir tahun 2023. Setidaknya sebanyak 42 juta NIK yang akan menjadi NPWP hingga 2024 mendatang. Masa transisinya sampai akhir 2023 sebelum core tax system berjalan. Jadi, sampai 2023 yang sudah bisa menggunakan NIK, ya silakan menggunakan NPWP yang sudah ada juga bisa. Jadi dua-duanya bisa digunakan,” ujarnya.
Suryo menekankan, perubahan NIK sebagai NPWP merupakan strategi bagi DJP untuk mendapatkan data terbaru dari Wajib Pajak. Maka, Suryo mengimbau kepada Wajib Pajak agar melakukan update data, meliputi profil, alamat yang tertera di NIK, nama, email, dan alamat tempat tinggal. Aktivasi NIK dapat dilakukan secara daring lewat DJP Online.
“Namanya identitas Wajib Pajak itu pasti Wajib Pajak yang tahu, sehingga dengan mencoba untuk menggunakan NIK, harapan kami sekaligus meng-update mengenai data dan informasi Wajib Pajak yang ada di DJP. Wajib Pajak bisa masuk ke laman kami (DJP Online) dengan gunakan NPWP sebagai key access-nya, update ke NIK dan masukan informasi lainnya, simpan. Kalau sudah log out dan silakan masuk lagi dengan NIK sebagai key access-nya” jelas Suryo.
Dalam Perayaan Hari Pajak 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati . mengapresiasi upaya DJP memberikan layanan prima kepada Wajib Pajak, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan dan rasio pajak.
“Jadi kemudahan pelayanan tidak perlu hadir ke kantor pajak dan bisa melakukannya dengan elektronik. Rasio pajak Indonesia paling rendah di antara negara-negara G20 dan ASEAN. Rasio pajak kita masih sebesar 9,11 persen pada akhir 2021,” kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan DJP dapat memperbaiki strategi komunikasi publik dalam menyosialisasikan kebijakan pengintegrasian NIK dan NPWP ini.
“Pemerintah memang sudah mencoba melakukan hal tersebut, namun penjelasan yang disampaikan kepada masyarakat masih bersifat teknis. Penjelasan belum menyentuh pada persoalan besar hingga manfaat besar dari adanya integrasi NIK-NPWP tersebut. Kami, Komisi XI DPR, usulkan strategi komunikasi NIK jadi NPWP itu seharusnya juga dikaitkan dengan fasilitas mereka untuk mendapatkan jaminan sosial,” ujar Andreas.
Menurutnya, seharusnya ketika data NIK dan NPWP telah terintegrasi, maka akan bermanfaat bagi masyarakat dalam mengakses jaminan sosial. Ia mengambil contoh kebijakan di Amerika Serikat. Di sana, masyarakat sangat berkepentingan dengan kebijakan single identification number (SIN).
“Sebab, tanpa adanya SIN, mereka tidak dapat mengakses fasilitas, seperti asuransi sosial dan sebagainya. Jadi, ada kaitan antara bagaimana mereka memenuhi kebutuhan membayar pajak sebagai kewajiban tapi juga memperoleh haknya,” tutur Andreas.
Ia menilai, hal ini penting untuk mencegah distorsi publik. Jangan sampai pengintegrasian NIK dan NPWP hanya untuk mendesak masyarakat kecil agar patuh membayar pajak.
“Karena yang terjadi di daerah pemilihan saya, digoreng sedemikian rupa, bahkan ibu-ibu yang punya simpanan di koperasi, yang punya simpanan juga harus bayar pajak. Seolah-olah seperti itu,” ungkap Andreas.
Comments