Strategi Hadapi Sengketa “Transfer Pricing” Bisnis “Freight Forwarding”
Pajak.com, Jakarta – Pertumbuhan dan kompleksitas bisnis jasa freight forwarding di Indonesia menimbulkan potensi sengketa penetapan harga transfer (transfer pricing). Dibantu oleh Transfer Pricing Dispute Advisor TaxPrime Reyna Syalsabella Harahap (Sasha), Pak Jaka akan memberikan strategi mitigasi hadapi sengketa transfer pricing bisnis jasa freight forwarding.
Tanya:
Kami perusahaan yang bergerak pada bisnis jasa freight forwarding dan tentunya erat kaitannya dengan transaksi afiliasi. Untuk itu, kami pun cukup aware dengan isu-isu transfer pricing dalam bidang perpajakan. Hal yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana cara memitigasi risiko sengketa pajak transfer pricing?
Jawab:
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya mengapresiasi komitmen perusahaan Anda dalam meningkatkan kepatuhan, ditandai dengan memitigasi beragam risiko perpajakan, utamanya sengketa transfer pricing. Apalagi sektor bisnis jasa freight forwarding cukup potensial menimbulkan sengketa transfer pricing, mengingat growth pasarnya cukup tinggi.
Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menetapkan skema penetapan harga transfer yang mengikuti kelaziman industri. Dalam bisnis freight forwarding, harga yang ditetapkan harus mampu merepresentasikan harga yang diterapkan oleh pihak-pihak independen di industri dan merepresentasikan fungsi, aset, dan risiko yang ditanggung oleh perusahaan saat bertransaksi dengan pihak afiliasi.
Analisis mendalam terhadap model bisnis, strategi perusahaan, dan benchmark terhadap perusahaan independen sangat diperlukan.
Kedua, Wajib Pajak dituntut memahami secara mendalam peraturan perpajakan domestik terkait transfer pricing, terutama kewajiban pelaporan. Salah satu regulasi penting yang harus diperhatikan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
PMK ini memberikan panduan yang jelas terkait langkah-langkah yang harus diikuti oleh Wajib Pajak dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi afiliasi. Wajib Pajak dituntut untuk menyelenggarakan dan menyimpan dokumen yang mendukung bahwa transaksi afiliasi yang dilakukan telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang terdiri atas Dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara.
Ketaatan terhadap peraturan perpajakan domestik akan membantu Wajib Pajak dalam mengurangi potensi sengketa dan menghadapi otoritas pajak dengan lebih percaya diri.
Ketiga, Wajib Pajak perlu untuk memastikan ketepatan implementasi terkait tahapan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi yang diuji. Sesuai dengan Pasal 4 ayat 4 dari PMK 172/2023, tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan:
- mengidentifikasi transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan pihak afiliasi;
- melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
- mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan pihak afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
- melakukan analisis kesebandingan;
- menentukan metode penentuan harga transfer; dan
- menerapkan metode penentuan harga transfer dan menentukan harga transfer yang wajar.
Tidak kalah penting juga perlu untuk dicermati, sebagaimana juga kerap menimbulkan sengketa, yaitu terkait penggunaan data pembanding yang relevan. Tersedianya data pembanding juga dapat mendukung posisi Wajib Pajak jika terjadi perselisihan dengan otoritas pajak.
Keempat, pentingnya dokumentasi yang apik dan sistematis. Dalam setiap tahapan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dokumentasi yang rapi dan lengkap sangat diperlukan. Dokumentasi ini menjadi bukti kuat yang akan mempermudah Wajib Pajak dalam menyelesaikan sengketa apabila terjadi permasalahan dengan otoritas pajak.
Dokumen yang baik harus mencakup setidaknya dapat menceritakan dasar penetapan harga, metode yang digunakan, data pembanding, serta justifikasi hasil pengujian. Tanpa dokumentasi yang memadai, perusahaan akan kesulitan membuktikan bahwa harga yang ditetapkan sudah sesuai dengan prinsip arm’s length.
Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk memiliki sistem dokumentasi yang terintegrasi antara bagian keuangan, akuntansi, dan logistik untuk mendukung setiap upaya penyelesaian sengketa perpajakan.
Kelima, penting bagi Wajib Pajak untuk selalu memonitor perubahan regulasi dan tren global dalam kaitannya dengan konteks transfer pricing. Hal ini bertujuan untuk memastikan perusahaan tetap up-to-date dengan perubahan kebijakan yang dapat memengaruhi strategi transfer pricing Wajib Pajak.
Demikian jawaban saya, semoga dapat membantu Anda memitigasi risiko sengketa pajak transfer pricing.
Comments