in ,

Tantangan DJP Himpun Penerimaan Pajak 2023

Tantangan DJP Himpun Penerimaan Pajak 2023
FOTO: P2Humas DJP

Tantangan DJP Himpun Penerimaan Pajak 2023

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyebutkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memetakan tantangan dan peluang dalam menghimpun penerimaan pajak tahun 2023. Adapun berdasarkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Negara (APBN) 2023, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp 1.718 triliun.

Yon menguraikan, tantangan DJP dalam menghimpun penerimaan pajak tahun depan, meliputi pertama, basis pajak yang sudah tinggi pada tahun 2022. DJP mencatat, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 1.580 triliun per 6 Desember 2022 atau telah melampaui target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022, yaitu senilai Rp 1.485 triliun. Pencapaian penerimaan pajak yang positif ini terjadi seirama dengan pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19; kenaikan harga komoditas global, utamanya kenaikan harga Crude palm oil (CPO); dan faktor implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang diadakan pada Januari-Juni 2022.

“Kinerja penerimaan pajak sejauh ini menunjukkan tren yang baik, tetapi kemungkinan tidak akan terulang pada tahun 2023, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi DJP,” ujarnya di acara puncak kegiatan International Tax Conference 2022, di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP, (7/12).

Baca Juga  Kanwil Bea Cukai Jakarta Beri Izin Fasilitas Kawasan Berikat ke Perusahaan Ini 

Kedua, proyeksi harga berbagai komoditas global yang termoderasi. Berdasarkan data Bank Dunia pada April 2022, akan terjadi penurunan harga akan terjadi pada komoditas energi, mineral, dan perkebunan di 2023.

Ketiga, isu geopolitik yang berimplikasi pada ketidakpastian global, bermuara pada inflasi berujung resesi. Kondisi ini dipicu oleh perang Rusia dan Ukraina, serta ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan.

“Kondisi geopolitik yang panas telah menyebabkan sejumlah negara mengalami krisis energi dan pangan sehingga terjadi inflasi tinggi. Sejumlah negara kemudian meresponsnya dengan menaikkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat menimbulkan volatilitas pasar keuangan global dan arus keluar modal dari negara seperti Indonesia,” jelas Yon.

Kemudian, aktivitas ekonomi global yang terganggu juga menyebabkan permintaan terhadap produk ekspor andalan Indonesia merosot, terutama tekstil, hingga beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Fenomena ini akan menjadi tantangan yang signifikan bagi DJP dalam menghimpun penerimaan pajak tahun 2023.

“Ekonomi kita tengah menghadapi tantangan yang berat, dan ini akan menjadi persoalan (dalam menghimpun pengumpulan pajak) pada 2023,” ujar Yon.

Di sisi lain, terdapat peluang atau strategi bagi DJP untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tahun depan. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa kinerja penerimaan pajak sudah kembali seperti sebelum prapandemi, setelah diterjang badai pandemi yang menyebabkan kontraksi hingga 19 persen pada 2020. Penerimaan pajak tahun 2021 dan 2022 yang melampaui target dapat terjadi karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mampu memanfaatkan peluang yang dituangkan dalam UU HPP.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaksus dan Politeknik Jakarta Internasional Teken Kerja Sama Inklusi Perpajakan

Di tahun 2023, melalui UU HPP, DJP akan memperluas basis pajak melalui integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); memaksimalkan penerimaan pajak kripto, fintech, dan bidang ekonomi digital lainnya, menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang kaya.

“Pada semester I-2023, Pilar I juga akan ditandatangani oleh konvensi muktilateral. Kita juga sudah siap dengan aturan untuk mengimplementasi Pilar 1 dan 2 dalam proses ke depannya,” ujar Yon.

Seperti diketahui, dua pilar pajak yang diinisiasi oleh OECD/G20 merupakan konsensus sebagai solusi global untuk mengatasi tantangan perpajakan yang timbul karena digitalisasi. Pilar 1, berisi solusi untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Sementara, Pilar 2, yaitu usulan solusi sebagai upaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan, yaitu tarif minimum 15 persen pada perusahaan multinasional dengan peredaran bruto tahunan sebesar 750 juta euro atau lebih.

Secara simultan, DJP melanjutkan Reformasi Perpajakan Jilid III, antara lain pilar organisasi, sumber daya manusia, proses bisnis perpajakan, serta sistem informasi dan basis data. Pilar sistem informasi dan basis data diimplementasikan dengan mengembangkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax.

“DJP melakukan reformasi di banyak aspek yang sangat penting untuk meningkatkan dan menjaga keberlanjutan penerimaan di masa depan, DJP juga memberikan banyak insentif perpajakan selama pandemi dan masa-masa pemulihan ekonomi, khususnya untuk UMKM (usaha mikro kecil menengah),” kata Yon.

Baca Juga  15 Rencana Aksi BEPS Inclusive Framework Cegah Penghindaran Pajak

Pada kesempatan yang sama, Deputy Commisioner of The Public Groups International Australian Taxation Office (ATO) Hector Thompson mengajak DJP untuk terus memperkuat kolaborasi dengan ATO untuk mengatasi tantangan dalam menghimpun penerimaan, khususnya dalam hal pengembangan digitalisai layanan perpajakan.

“Otoritas pajak perlu mengembangkan pelayanan digital, sehingga terjadi integrasi pelayanan perpajakan yang akurat dan peningkatan penerimaan,” tambah Thompson.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *