Menu
in ,

Reformasi PPh dalam UU HPP, Wujudkan Indonesia Maju

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah terus berupaya agar Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Untuk mewujudkan cita-cita itu, pemerintah melakukan langkah-langkah reformasi secara menyeluruh. Mulai dari reformasi struktural hingga reformasi fiskal, termasuk reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebagai salah satu bagian penting dari UU HPP, pemerintah juga mereformasi Pajak Penghasilan (PPh), baik dari sisi kebijakan maupun administrasinya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, tujuan utama reformasi PPh dalam UU HPP adalah membentuk sistem PPh yang lebih berkeadilan dan  memiliki kepastian hukum sehingga dapat memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

“Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan,” kata Febrio dalam keterangan tertulis Kamis (24/10/21).

Reformasi struktural untuk mendukung visi Indonesia Maju 2045 telah dilakukan secara bertahap dengan reformasi APBN sebagai pengaktif atau enabler. Reformasi struktural dilakukan untuk menuju ekonomi Indonesia yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing, serta mampu membuka lapangan pekerjaan secara masif dan berkualitas. Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk aturan turunannya seperti kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM, pembentukan Indonesia Investment Authority (INA), Online Single Submission (OSS), dan aturan lainnya menjadi pijakan reformasi struktural tersebut.

Reformasi fiskal untuk mendukung reformasi struktural dilakukan dari sisi belanja dan penerimaan. Dari sisi belanja, APBN mendukung implementasi program produktif. Seperti pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan secara masif setidaknya dalam enam tahun terakhir, penguatan belanja pendidikan dan kesehatan, serta reformasi perlindungan sosial sepanjang hayat yang tentunya akan memiliki manfaat jangka panjang bagi perekonomian.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo juga menyampaikan, dari sisi penerimaan, lahirnya UU HPP menjadi pijakan yang kuat untuk mendorong pelaksanaan reformasi fiskal dengan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan berkepastian hukum. Penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN terutama dalam pembangunan jangka panjang. Termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur, mendorong pemulihan ekonomi nasional, serta redistribusi pendapatan.

Di bidang reformasi PPh, upaya dilakukan melalui perbaikan kebijakan seperti insentif bagi Wajib Pajak (WP) UMKM, perbaikan progresivitas tarif PPh Orang Pribadi (OP), serta perbaikan administrasi. Di antaranya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk WP OP.

“UU HPP meningkatkan keberpihakan kepada WP UMKM. Hal ini dilakukan melalui pemberian insentif berupa batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai Rp 500 juta setahun. Artinya, WP OP UMKM yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta setahun tidak membayar PPh,” ungkap Suryo.

Suryo menjelaskan bahwa WP Badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas diskon tarif PPh 50 persen sesuai Pasal 31E UU PPh. Dukungan perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha UMKM di Indonesia.

Selanjutnya, UU HPP memperbaiki progresivitas tarif PPh OP dengan memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah (5 persen) dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi (35 persen). Pemerintah menyepakati usulan DPR RI untuk memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) OP yang dikenai tarif PPh terendah (5 persen) dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta.

Pemerintah tetap memberikan batasan PTKP bagi WP OP yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp 4,5 juta setahun diberikan untuk WP yang kawin, dan tambahan sebesar Rp 4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang. Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp 4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh. Sementara masyarakat dengan penghasilan menengah beban pajak penghasilannya menjadi lebih ringan.

Di sisi lain, UU HPP juga menetapkan tarif PPh OP sebesar 35 persen untuk lapisan PKP di atas Rp 5 miliar. Hal ini selaras dengan prinsip kemampuan bayar (ability to pay) atau gotong royong. Di mana masyarakat yang berpenghasilan rendah dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi membayar pajak yang lebih tinggi.

Selain itu, UU HPP juga memberikan pengaturan ulang perlakuan perpajakan atas pemberian natura (fringe benefit) agar sistem PPh semakin adil. Untuk pegawai atau kalangan tertentu, UU HPP mengatur pemberian natura menjadi objek pajak bagi penerimanya. Di sisi lain, pemberian natura itu dapat menjadi biaya dalam penghitungan pajak bagi perusahaan yang memberikannya.

Untuk tetap memberikan keadilan bagi masyarakat, beberapa jenis natura tidak dikenakan pajak sebagaimana diatur di UU HPP. Jenis natura yang dimaksud adalah penyediaan makanan atau minuman bagi seluruh pegawai, pemberian natura di daerah tertentu, penyediaan natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, natura yang bersumber dari dana APBN atau APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version