Menu
in ,

Reformasi Pajak di Filipina Terbukti Tingkatkan Penerimaan

Pajak.com, Filipina – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Filipina menyebutkan, program reformasi pajak yang dilaksanakan terbukti telah meningkatkan penerimaan P575,8 miliar atau sekitar Rp 158,7 triliun sepanjang 2018—2021. Penerimaan pajak yang meningkat mendorong pemerintah merealisasikan pelbagai proyek infrastruktur di Filipina.

“Pendapatan tambahan dari langkah-langkah ini dialokasikan untuk mendanai program Bangun, Bangun, Bangun dan program perawatan kesehatan universal,” demikian bunyi laporan Kemenkeu Filipina, dikutip Pajak.com (9/5).

Langkah reformasi itu dilakukan secara komprehensif melalui pengesahan UU Reformasi Pajak untuk Percepatan dan Inklusi (Tax Reform for Acceleration and Inclusion/TRAIN) yang ditetapkan pada 2018. UU TRAIN menjadi payung hukum bagi Filipina untuk menyelenggarakan pelbagai program, salah satunya tax amnesty.

“Dengan UU TRAIN, pemerintah juga dapat memberlakukan tarif pajak yang lebih tinggi dari sebelumnya 32 persen menjadi sebesar 35 persen untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan penghasilan kena pajak melebihi P8 juta (sekitar Rp 2,25 miliar) per tahun,” begitu laporan Kemenkeu Filipina

Secara rinci, implementasi UU TRAIN tercatat telah menghasilkan tambahan penerimaan senilai P68,4 miliar pada 2018; P134,7 miliar pada 2019; P144 miliar pada 2020; dan P228,6 miliar 2021.

“Sepanjang 2018 hingga 2021, pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi atas konsumsi telah menghasilkan tambahan penerimaan P476,1 miliar. Kemudian,  program tax amnesty untuk tunggakan dan denda Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga mendatangkan penerimaan P14,6 miliar pada 2019 hingga 2021,” ungkap  Kemenkeu Filipina.

Di sisi lain, Kemenkeu Filipina juga mencatat, terjadi peningkatan penerimaan tahunan yang lebih berkelanjutan dari cukai rokok, rokok elektronik, dan minuman beralkohol sepanjang 2020 hingga 2021. Dalam periode itu, pemerintah mampu mengumpulkan tambahan penerimaan senilai P85 miliar dari cukai.

“Cukai atas produk tersebut akan terus meningkat setiap tahun mulai 2022 dan seterusnya, sebagaimana diatur dalam UU Cukai yang baru, yakni UU Nomor 11346 dan 11467,” tambah Kemenkeu Filipina dalam laporannya.

Kendati demikian, pemerintah juga mencatat, pandemi COVID-19 telah memberikan tekanan berat pada pendapatan negara secara keseluruhan. Kemenkeu Filipina memperkirakan, potensi pendapatan yang hilang akibat pandemi mencapai P1,71 triliun sejak 2020.

Dengan demikian, Kemenkeu Filipina menyimpulkan, rasio penerimaan pajak pada pemerintahan sejak kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte (2017—2021) rata-rata tercatat sebesar 14 persen. Apabila tanpa pandemi, angka itu diestimasi melesat hingga mencapai 14,8 persen—mendekati era Presiden Fidel V. Ramos (1992—1998) yang sebesar 14,2 persen.

Adapun pada era pemerintahan Presiden Joseph Estrada (1999—2000), rata-rata rasio pajak sebesar 12,7 persen, turun menjadi 12,1 persen pada era pemerintahan Presiden Gloria Arroyo (2001—2010), lalu kembali naik menjadi 12,7 persen selama kepresidenan Benigno Aquino III (2011—2016).

“Pengumpulan pajak yang mengesankan dalam lima tahun pemerintahan ini dapat dikaitkan dengan reformasi pajak yang berani serta upaya digitalisasi dan otomatisasi yang agresif dari badan-badan pengumpul pendapatan sejak Presiden Duterte menjabat pada 2016,” tambah laporan Kemenkeu Filipina itu.

Apabila penerimaan pajak dan nonpajak digabungkan menjadi pendapatan negara, Kemenkeu Filipina mencatat besarannya akan mencapai 15,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB)—angka tertinggi dalam lebih dari 2 dekade terakhir.

Seperti diketahui, Filipina akan menggelar pemilu untuk memilih presiden pengganti Duterte pada 9 Mei 2022. Sebelum jabatannya berakhir, Presiden Duterte menargetkan dapat menyelesaikan semua agenda reformasi pajak yang direncanakan.

Indonesia juga tengah menjalani reformasi perpajakan, yang dituangkan salah satunya melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi, UU HPP akan menambah penerimaan perpajakan sekitar Rp 139 triliun di tahun 2022. Potensi itu diyakini dapat tercapai karena sejumlah poin aturan UU HPP mulai berlaku mulai 2022, antara lain Program Pengungkapan Sukarela (PPS); kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN); pengenaan pajak baru, seperti kripto dan fintech.

“Tanpa berlakunya UU HPP, penerimaan perpajakan 2022 sebesar Rp 1.510 triliun dengan rasio tax ratio 8,44 persen. Namun, dengan berlakunya UU HPP, penerimaan dan rasio pajak akan meningkat, minimal Rp 130 triliun akan ada additional pendapatan. Dan, itu berarti menaikkan tax ratio kita ke 9,22 persen dari PDB dan seterusnya,” ungkap Sri Mulyani.

Dengan demikian, Kemenkeu Indonesia memperkirakan, UU HPP akan meningkatkan penerimaan perpajakan menjadi Rp 1.649 triliun. Kemudian, penerimaan di tahun 2023 diperkirakan naik menjadi Rp 1.811,1 triliun dengan rasio pajak 9,29 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version