in ,

Perbedaan Fundamental Pajak Natura Sebelum dan Sesudah PMK 66

Perbedaan Fundamental Pajak Natura Sebelum dan Sesudah PMK 66
FOTO: Aprilia Hariani dan Jhon Eddy

Perbedaan Fundamental Pajak Natura Sebelum dan Sesudah PMK 66

Pajak.com, Jakarta –PT Bina Indocipta Andalan berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Forum Masyarakat Peduli Literasi Perpajakan (FMPLP), dan Pajak.com untuk menggelar webinar mengenai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang diterima atas Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan. Direktur PT Bina Indocipta Andalan Jhon Eddy menegaskan, webinar ini tidak sebatas menguraikan PMK Nomor 66 Tahun 2023, melainkan mengupas perbedaan filosofis dan fundamental mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas natura dan/atau kenikmatan dalam regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Jhon menggarisbawahi bahwa pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan saat ini telah berlaku sebelum UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PMK Nomor 66 Tahun 2023 terbit.

“Satu yang mencirikan secara terminologis perbedaan signifikan antara perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan adalah, yakni dalam UU PPh, biaya natura dan/atau kenikmatan tidak dapat dikurangkan bagi pemberi kerja dan bukan objek bagi penerima. Jadi, sesuai dengan prinsip non-deductable dan non-taxable. Kemudian, kita lihat apa perbedaannya di dalam UU HPP dan PMK Nomor 66 Tahun 22023 diatur natura dan/atau kenikmatan dapat dibiayakan. Tolong digarisbawahi, dapat dibiayakan sepanjang terkait biaya 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan bagi pemberi kerja dan merupakan objek bagi pegawai atau penerima,” jelas John yang juga merupakan Ketua Umum Perkumpulan Pengacara dan Praktisi Hukum Pajak Indonesia (P3HPI) sekaligus Dewan Penasehat Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi), dikutip Pajak.com, (27/7).

 

Selanjutnya, hal pokok lain dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023, pertama, pemotongan PPh dilakukan untuk pemberian natura dan/atau kenikmatan mulai 1 Juli 2023, sedangkan periode 1 Januari sampai 30 Juni 2023 yang belum dipotong tersebut akan dihitung dan dilaporkan secara self-assessment oleh penerimanya. Beda dengan aturan sebelumnya, karena sepenuhnya menjadi tanggungan perusahaan sepenuhnya.

Baca Juga  Kurs Pajak 1 – 7 Mei 2024

“Ini yang menjadi tantangan. Apakah penerima dalam hal ini utamanya karyawan-karyawan itu, apakah bisa secara sukarela dan patuh akan melaporkan natura yang diterima dan secara sadar melaporkan pajak terhutang atas kenikmatan tersebut? Jangan sampai mungkin nanti banyak ‘surat cinta’ (SP2DK) dari teman-teman DJP kepada Wajib Pajak karyawan,” kata John.

Kedua, berdasarkan PMK Nomor 66 Tahun 2023, pengertian penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan adalah barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima. Contoh mobil ex-dinas untuk pegawai. Kemudian, perlu dipahami lagi mengenai fasilitas dan/atau pelayanan itu bersumber dari aktiva.

“Nah, jika berasal dari aktiva, harta milik pemberi atau pihak ketiga barangkali disewa atau dibiayai oleh pemberi kerja. Misalnya, sewa mobil untuk karyawan atau direksi. Kami berharap webinar ini dapat memberikan pemahaman secara mendalam mengenai implementasi PMK Nomor 66 Tahun 2023,” ujar John.

Pada kesempatan yang sama, Founder FMPLP Pandu Bestari juga berharap webinar dapat dipahami secara komprehensif. Ia berpandangan, saat ini publik seakan-akan menganggap pajak atas natura dan/atau kenikmatan dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023 merupakan jenis pajak baru.

“Padahal sebetulnya tidak demikian. Sudah ada dari sebelumnya (aturan mengenai pajak atas natura dan/atau kenikmatan). Maka, pemahaman ini kita mulai dari mengenal apa itu fringe benefits? Fringe benefits dalam kamus perpajakan internasional, yaitu kompensasi atau tambahan manfaat di luar gaji atau upah normal yang diberikan perusahaan kepada karyawan atau buruh, disebut benefit in kind, bila kompensasi tersebut diberikan tidak dalam bentuk uang melainkan natura,” jelas Pandu.

Pemberian kompensasi tersebut sebagai insentif kepada karyawan yang dimaksudkan, antara lain untuk merekrut, memberi motivasi, dan mempertahankan orang-orang dengan kualitas tinggi di dalam perusahaan. Dalam praktinya, beberapa kompensasi dan tambahan manfaat itu diberikan kepada seluruh karyawan, namun ada juga yang diberikan kepada pegawai dengan posisi khusus di dalam perusahaan. Kompensasi atau tambahan manfaat itu dapat diberikan dalam bentuk money loans, seperti bonus liburan, fasilitas, training, atau program tertentu.

Baca Juga  Tiga Kanwil DJP Jatim Serentak Blokir Rekening Penunggak Pajak

“Maka, jelas bahwa motif dan wujud pemberian fringe benefits beraneka ragam, sehingga menjadikan design regulasi pajak atas tambahan manfaat saat ini gampang-gampang sulit. Ada dua macam tipe fringe benefits yang kita kenal,” kata Pandu.

Pertama, fringe benefits required by law, artinya keberadaanya wajib sesuai yang dipersyaratkan undang-undang atau ketentuan yang berlaku bagi perusahaan, antara lain seperti menyediakan layanan medis atau medical care, asuransi kesehatan, cuti sakit, atau medical leave, asuransi pengangguran, dan sebagainya.

Kedua, fringe benefits not required by law, artinya sepenuhnya menjadi kebijakan atau direksi perusahaan sebagai pemberi kerja. Misalnya, fasilitas antar-jemput bagi karyawan, asuransi jiwa, fasilitas mobil dinas pribadi, pemberian baju seragam di kantor, fasilitas makanan dan minum di tempat kerja, gaji cuti, fasilitas tempat tinggal di daerah tertentu, free accommodation, low interest loan, maupun employee discount.

Pandu menjelaskan, bagi perusahaan sebagai pemberi penghasilan, fringe benefits not required by law umumnya tidak dapat dibiayakan sebagai perusahaan alias non-deductable. Sementara bagi penerima penghasilan, bukan objek PPh dalam arti non-taxable.

“Sebetulnya prinsip non-deductable dan non-taxable tersebut sudah kita adopsi sejak kita melakukan reformasi perpajakan di tahun 1983. Kala itu, para pembuat kebijakan menganggap, ini merupakan insentif bagi perusahaan agar tambahan penghasilan di luar gaji atau upah diberikan saja dalam bentuk uang atau tunjangan, sehingga orang di rumah bisa ikut menikmati. Itulah sebabnya dulu, perlakuan PPh atas natura dan/atau kenikmatan berupa pajak ditanggung perusaahan dan tunjangan PPh perlakuan pajaknya tidak sama. Namun demikian, dengan terbitnya PMK Nomor 66 Tahun 2023 perlakuan pajak, baik itu atas tunjangan PPh maupun pajak ditanggung perusahaan, perlakuannya sama, artinya digunakan prinsip deductable taxable,” jelasnya.

Pandu juga menyoroti tantangan implementasi PPh atas natura dan/atau kenikmatan yang disebabkan oleh terlalu banyak pihak yang berkepentingan sebagai variabel dan berpengaruh dalam penentuan regulasi. Salah satu variabel itu adalah disparitas pengenaan tarif PPh badan 22 persen dan tarif tertinggi PPh orang pribadi 35 persen.

Baca Juga  DJP: Terima Kasih 1,04 Juta Wajib Pajak Badan yang Telah Lapor SPT

“Terdapat potensi penurunan PPh badan ketika diberlakukan pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang kini dibebankan kepada pegawai level tertinggi. Saya, sebagai bekas pegawai pajak wajar bila cemas dan bertanya dalam hati ‘siapa yang berani menjamin bahwa tax potential loss itu bisa ditutup dengan penerimaan pajak atas fringe benefit’. Pasalnya, seberapa banyak karyawan yang penghasilannya ada pada lapis penghasilan yang terkena tarif 35 persen tersebut. Namun demikian, karena regulasi tentang fringe benefit diatur dalam laporan keuangan, saya masih optimistis bahwa dalam implementasinya nanti bila terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan,” pungkas Pandu.

Webinar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Eko Ariyanto. Ia juga menggarisbawahi bahwa perbedaan fundamental atas pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan sebelum PMK Nomor 66 Tahun 2023 terletak pada fasilitas yang diberikan kepada perusahaan, yaitu perusahaan dapat membiayakan natura dan/atau kenikmatan untuk pegawai.

“Seperti yang disampaikan pak Pandu, misalnya, terkait kesehatan keselamatan pekerja oleh Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja) dan Kemenkes (Kementerian Kesehatan) di UU HPP dan PMK Nomor 66 Tahun 2023 itu bisa dibiayakan sepanjang 3M. Ini merupakan perubahan yang sangat-sangat fundamental, di mana yang sebelumnya tidak dapat dikurangkan, sekarang dapat dikurangkan, dapat dibiayakan. Tentunya aturan ini memberikan stimulasi supaya produktifitas pegawai dan perusahaan tetap dijaga,” jelas Eko.

Materi juga disampaikan oleh Fungsional Penyuluhan Pajak Ahli Muda DJP Giyarso, Fungsional Penyuluhan Pajak Ahli Muda DJP Bima Pradana, serta Fungsional Penyuluhan Pajak Ahli Pratama DJP M.Iqbal. Webinar yang diikuti oleh sekitar 250 peserta ini ditutup dengan sesi tanya jawab.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *