Menu
in ,

Penerimaan Positif, Modal Hadapi Ketidakpastian Global

Modal Hadapi Ketidakpastian Global

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja penerimaan negara yang positif menjadi modal yang baik bagi Indonesia menghadapi ketidakpastian perekonomian global. Ia menyebutkan, penerimaan negara hingga akhir Juni 2022 mencapai Rp 1.317,2 triliun atau 58,1 persen dari target APBN yang telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022.

Kinerja penerimaan negara itu mengalami pertumbuhan 48,5 persen dibandingkan tahun lalu di periode yang sama. Adapun komponen penerimaan terdiri dari, pajak, bea dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Kinerja penerimaan negara yang sangat positif ini adalah hasil dari pemulihan ekonomi nasional yang semakin menguat dan juga kenaikan harga-harga komoditas, serta berbagai perbaikan kebijakan dan administrasi perpajakan yang dilaksanakan dengan adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kinerja yang positif menjadi modal yang sangat baik untuk mengantisipasi perkembangan gejolak dan ketidakpastian perekonomian global,” ungkap Sri dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala III KSSK 2022, secara virtual, (1/8).

Dari sisi belanja negara, hingga Juni 2022, telah terealisasi sebesar Rp 1.243,6 triliun atau 40 persen dari pagu. Belanja negara ini terdiri pemerintah pusat Rp 876,5 triliun atau 38,1 persen dari pagu anggaran, belanja Transfer Ke Daerah dan Dana desa (TKDD) yang mencapai Rp 367,1 triliun atau 45,6 persen dari pagu anggaran.

“Belanja negara akan terus dioptimalkan dan ditujukan untuk menopang pemulihan ekonomi Indonesia agar terus berlanjut dan menguat. Dan, ini juga akan menjadi modal bagi kita menyusun RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja) tahun 2023 yang akan tetap disiplin di dalam melaksanakan konsolidasi fiskal,” jelas Sri Mulyani.

Dengan kinerja penerimaan dan belanja negara itu, maka kondisi APBN hingga akhir Juni 2022 mencatatkan surplus sebesar Rp 73,6 triliun atau 0,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sri Mulyani memastikan, pemerintah akan terus menjaga daya tahan ekonomi Indonesia, termasuk dengan menggunakan instrumen fiskal dari APBN, terutama subsidi dan kompensasi yang menjadi shock absorber dari gejolak harga-harga global terutama di bidang pangan dan energi akibat konflik Ukraina-Rusia.

“Pemerintah akan terus berupaya mengendalikan inflasi dan melindungi daya beli masyarakat serta menjaga momentum pemulihan ekonomi. Pada saat yang sama, perbaikan kondisi APBN juga ditujukan untuk terus menjaga kesehatan dan sustainabilitas fiskal dalam jangka menengah panjang. Pemerintah juga akan terus menjaga stabilitas pasar SBN (Surat Berharga Negara) dengan menjaga disiplin APBN dan menjaga kredibilitas APBN dan dengan menerapkan strategi pembiayaan yang fleksibel, oportunis, namun tetap hati-hati atau prudent,” ungkapnya.

KSSK menilai, inflasi pada Juli 2022 masih terkendali, yakni sebesar 4,94 persen. Sri Mulyani menuturkan, inflasi pada Juli 2022 didorong oleh komponen volatile food dan administered price.

“Komponen inflasi inti masih tetap terjaga rendah. Inflasi inti tetap terjaga pada tingkat 2,86 persen dibandingkan tahun lalu di periode yang sama. Hal ini didukung oleh konsistensi kebijakan BI (Bank Indonesia) dalam menjaga ekspektasi inflasi,” ujar Sri Mulyani.

Ia mengutip, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi komponen volatile food tercatat mencapai 11,47 persen, yang dipengaruhi kenaikan harga pangan global serta gangguan pasokan pangan domestik akibat cuaca buruk dan faktor musiman. Sementara, inflasi komponen administered price melonjak 6,51 persen, yang dipengaruhi kenaikan harga tiket pesawat.

“Bukan karena harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Karena harga BBM dan listrik tetap terjaga karena masih ada subsidi. Dengan sejumlah kebijakan pemerintah, inflasi Indonesia masih terjaga dan tercatat moderat bila dibandingkan dengan inflasi Filipina yang mencapai 6,1 persen dan Thailand yang mencapai 7,7 persen,” ujar Sri Mulyani.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo juga mengatakan, inflasi Indonesia masih terjaga, sehingga BI masih akan tetap mempertahankan besaran suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate. Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, juga tidak serta-merta menaikkan suku bunga acuan BI.

“Dasar utama suku bunga adalah bagaimana perkiraan inflasi inti ke depan dan keseimbangan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, tidak otomatis kalau negara lain naik, maka Bank Indonesia juga naik,” jelas Perry.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version