in ,

Pakar Ekonomi Ungkap Dampak jika QRIS Kena PPN 12 Persen

QRIS ppn 12 persen
FOTO : IST

Pakar Ekonomi Ungkap Dampak jika QRIS Kena PPN 12 Persen

Pajak.com, Jakarta – Isu pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) menuai perhatian publik. Pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Rahmat Setiawan menilai kebijakan ini berpotensi mendorong masyarakat kembali menggunakan uang tunai.

“Kalau memang pakai QRIS ternyata juga terkena dampak PPN 12 persen, tentu masyarakat akan kembali ke tunai. Ngapain pilih QRIS kalau memang nanti kena PPN 12 persen? Jadi, perilaku orang itu sebenarnya rasional dan akan selalu menyesuaikan,” kata Rahmat dikutip Pajak.com dari laman resmi UNAIR pada Senin (30/12).

Ia menjelaskan bahwa pemerintah selama ini mendorong penggunaan transaksi non-tunai untuk mempermudah masyarakat dalam bertransaksi, meningkatkan konsumsi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, transaksi non-tunai juga dianggap dapat membantu pemerintah dalam upaya pencegahan pencucian uang.

Baca Juga  APINDO Apresiasi Pemerintah Terkait Penyediaan Insentif Pajak untuk DHE SDA

“Mekanisme pencucian uang kalau tunai itu cari buktinya sulit. Nah, kalau pakai non-tunai pasti ter-record,” tegasnya.

Namun, menurut Rahmat, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 dapat berdampak buruk pada daya beli masyarakat yang akhirnya akan membuat jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat.

“Kalau PPN naik, otomatis beban hidup masyarakat secara umum akan naik. Dampaknya ke daya beli masyarakat akan turun, sehingga konsumsi juga turun. Maka, akan terjadi penurunan produksi karena barang-barang yang diproduksi nggak ada yang konsumsi, sehingga nanti jumlah pengangguran akan meningkat,” paparnya.

Dalam kesempatan tersebut, Rahmat juga menyoroti bahwa pemerintah sebenarnya memiliki ruang untuk menyesuaikan tarif PPN. “Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk menurunkan sampai minimal 5 persen atau menaikkan sampai maksimal 15 persen sesuai UU (Undang-Undang) HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) Pasal 7 ayat (3). Jadi, sebenarnya masih ada ruang untuk tetap di 11 persen tanpa harus mengubah UU,” jelasnya.

Baca Juga  Kurs Pajak 29 Januari – 4 Februari 2025

Ia mengingatkan bahwa kebijakan perpajakan yang membebani masyarakat perlu dievaluasi dampaknya secara menyeluruh agar tidak mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap transaksi non-tunai.

PPN Ditanggung “Merchant” Bukan Pembeli

Sebagaimana diketahui, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pengenaan PPN pada QRIS bukan merupakan objek pajak baru.

“Perlu kami sampaikan bahwa transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial,” ujar Dwi beberapa waktu lalu.

Baca Juga  Gangguan “Core Tax” Hambat Pelaporan Pajak, Ekonom UI: Bisa Tambah Rp1.500 T Jika Optimal

Ia juga menambahkan bahwa dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant. “Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru,” jelas Dwi.

Sebagai ilustrasi, ia menjelaskan bahwa jika seseorang membeli televisi seharga Rp 5.000.000, maka terutang PPN sebesar Rp 550.000, sehingga total harga yang dibayarkan adalah Rp 5.550.000. “Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya,” tambahnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *