PPN Indonesia Kalah Efisien dari Thailand-Vietnam, Ini Saran AMRO
Pajak.com, Jakarta – Tak banyak masyarakat yang sadar bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan sumber penerimaan pajak terbesar kedua bagi negara, setelah Pajak Penghasilan (PPh). Betapa tidak, setiap transaksi pembelian barang dan jasa menyumbang pemasukan ke kas negara melalui PPN. Sayangnya, meski Indonesia sudah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen sejak 2022, penerimaan dari sektor ini belum mampu mencapai potensi maksimalnya.
Laporan terbaru dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengungkapkan serangkaian tantangan yang membuat pemungutan PPN di Indonesia masih jauh dari efisien. Salah satu penyebab utamanya adalah banyaknya pengecualian, ambang batas omzet yang tinggi, hingga kebijakan tarif yang belum sepenuhnya diterapkan secara merata. Pajak.com akan mengulasnya secara lebih lengkap berdasarkan laporan AMRO berjudul AMRO Annual Consultation Report 2025 ini.
Ambang Batas PPN Terlalu Tinggi
Salah satu isu yang menjadi sorotan AMRO adalah ambang batas omzet yang menentukan apakah suatu pelaku usaha wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau tidak. Di Indonesia, pelaku usaha diwajibkan untuk mendaftar sebagai pemungut PPN apabila memiliki omzet melebihi Rp4,8 miliar atau sekitar 315 ribu dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.
Ambang batas ini diberlakukan sejak 1 Januari 2014, menggantikan ambang sebelumnya sebesar Rp600 juta. Bandingkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Laos, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang memiliki ambang batas hanya berkisar di bawah 55 ribu dolar AS atau sekitar Rp815 juta per tahun.
“Ambang batas yang lebih rendah tersebut diyakini dapat memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran pajak, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara dari sektor PPN,” tulis AMRO pada laporan tersebut, dikutip Pajak.com, Minggu (29/5/2025).
Kebijakan ini awalnya dirancang untuk meringankan beban kepatuhan pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM), dan memang ada manfaatnya, UKM diberi ruang untuk bertumbuh tanpa dibebani kewajiban administrasi yang rumit. Namun, laporan AMRO menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ambang batas yang tinggi justru menciptakan distorsi.
Tak sedikit pelaku usaha yang sengaja membatasi skala usahanya agar tidak melampaui batas Rp4,8 miliar demi menghindari status PKP. Menurut AMRO, implikasinya bukan hanya pada potensi penerimaan negara yang hilang, tetapi juga pada pertumbuhan usaha yang terhambat. Situasi ini menciptakan insentif negatif: semakin besar usaha, semakin rumit beban pajak dan administrasinya.
“Mengingat bahwa Indonesia memiliki salah satu ambang batas pengecualian PPN tertinggi di kawasan, beberapa pelaku usaha diduga sengaja menjaga omzetnya di bawah ambang tersebut untuk menghindari pendaftaran sebagai pemungut PPN. Akibatnya, pertumbuhan usaha menjadi lambat dan pengumpulan pajak menjadi tidak efisien,” papar AMRO.
Tarif 12 Persen, Tapi Hanya untuk Barang Mewah
Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa mulai 1 Januari 2025 tarif PPN akan dinaikkan menjadi 12 persen. Namun, karena tekanan ekonomi dan dinamika politik dalam negeri, kebijakan tersebut akhirnya dikoreksi.
Pada akhirnya, pemerintah memutuskan untuk hanya memberlakukan tarif 12 persen kepada barang-barang mewah seperti jet pribadi, kapal pesiar, kendaraan kelas atas, dan properti eksklusif. Sementara barang dan jasa kebutuhan umum tetap dikenai tarif 11 persen.
Keputusan ini dipandang realistis, tetapi sekaligus menunda potensi penerimaan negara. Menurut AMRO, dengan cakupan yang terbatas, penerimaan PPN tahun 2025 diperkirakan tidak akan setinggi target awal. Dalam jangka menengah, ketidakpastian ini membuat strategi fiskal Indonesia jadi kurang solid.
“Perubahan kebijakan ini diperkirakan akan menyebabkan penerimaan PPN pada 2025 lebih rendah dari yang diantisipasi. Dalam jangka menengah, mobilisasi penerimaan PPN juga akan menjadi tantangan, karena belum ada jadwal pasti untuk normalisasi tarif 12 persen agar mencakup seluruh barang dan jasa,” jelas AMRO.
Tarif Tinggi Tapi Efisiensi Rendah
Selain ambang batas, efisiensi pemungutan PPN juga masih menjadi pekerjaan rumah besar karena realisasi penerimaannya belum menunjukkan lonjakan yang setara dengan tarif yang kini berlaku 11 persen. Salah satu indikator yang digunakan AMRO untuk menilai efektivitas pemungutan PPN adalah C-efficiency, atau perbandingan antara penerimaan aktual dengan potensi penuh berdasarkan konsumsi.
Di Indonesia, angka ini sempat anjlok ke 46 persen saat pandemi, dan meski mulai pulih pasca-2021, masih tertinggal jauh dari Thailand dan Vietnam yang memiliki C-efficiency lebih tinggi. Penyebab utamanya adalah banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, serta tarif nol persen untuk sektor-sektor tertentu.
Ironisnya, di tengah sempitnya basis pajak dan rendahnya efisiensi, Indonesia justru memiliki tarif PPN yang sudah lebih tinggi dari banyak negara tetangga. Artinya, masalahnya bukan semata pada tarif, tetapi pada siapa dan apa yang dikenai pajak, serta seberapa luas cakupannya.
Solusi AMRO: Perluas Basis, Pangkas Pengecualian
Masih mengutip dari laporan yang sama, AMRO merekomendasikan beberapa langkah konkret untuk memperkuat penerimaan PPN Indonesia tanpa membebani masyarakat. Pertama, perluasan basis pajak. Artinya, semakin banyak jenis barang dan jasa yang dikenai PPN, maka penerimaan juga meningkat. Saat ini, banyak sektor masih bebas PPN, termasuk beberapa layanan hotel dan restoran.
“Pengurangan pengecualian terhadap barang dan jasa serta yang dikenakan tarif nol persen juga diperlukan. Misalnya, pencabutan pengecualian PPN atas jasa hotel dan restoran dapat meningkatkan penerimaan PPN,” saran AMRO.
Kedua, menurunkan ambang batas omzet agar lebih banyak pelaku usaha terdaftar sebagai PKP. Kementerian Keuangan bahkan mencatat bahwa akibat ambang batas yang terlalu tinggi, potensi penerimaan PPN yang tidak tergarap bisa mencapai Rp61,3 triliun pada 2025.
Untuk itu, AMRO menyarankan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan ini, dengan opsi menurunkan ambang batas agar lebih sejalan dengan standar regional, tentu dengan disertai dukungan administratif bagi pelaku usaha yang baru masuk kategori PKP. “Untuk memperluas basis pajak, penurunan ambang batas pendaftaran PPN juga bisa menjadi opsi.”
Ketiga, memperjelas roadmap kenaikan tarif menjadi 12 persen secara menyeluruh. Ketika rencana ini tidak dikomunikasikan dengan baik, baik pelaku usaha maupun masyarakat menjadi ragu dan tidak siap. Padahal, tarif 12 persen bisa memberikan kontribusi besar pada pendapatan negara—tentu dengan catatan implementasi dilakukan secara adil dan bertahap.
Sederhananya, AMRO menyarankan agar pemerintah menempuh pendekatan menyeluruh, yakni menormalisasi tarif 12 persen secara bertahap ke seluruh barang dan jasa, mengurangi pengecualian dan tarif nol persen, serta memperluas basis PPN dengan menurunkan ambang batas pendaftaran PKP. Semua itu bisa dilakukan tanpa membebani pelaku usaha kecil, asalkan disertai penyederhanaan administrasi dan insentif transisi yang jelas.
Comments