Ini Syarat Administrasi Pemecahan SPPT PBB-P2 di Jakarta
Pajak.com, Jakarta – Pemilik tanah atau bangunan di Jakarta yang ingin memisahkan kewajiban pajaknya kini perlu memahami mekanisme dan syarat administrasi pemecahan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (SPPT PBB-P2). Langkah ini penting dilakukan ketika satu objek pajak dimiliki oleh lebih dari satu pihak dan telah terjadi pemisahan secara fisik.
SPPT PBB-P2 adalah dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah daerah untuk memberi tahu besarnya pajak yang terutang atas suatu objek pajak dalam satu tahun pajak. SPPT menjadi dasar penagihan yang wajib dilunasi oleh Wajib Pajak dalam periode waktu yang telah ditentukan.
Namun dalam praktiknya, tidak sedikit kasus di mana satu bidang tanah atau bangunan telah dibagi dan dimiliki oleh lebih dari satu pihak. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan pemecahan SPPT agar setiap pemilik memiliki dokumen pajaknya sendiri sesuai dengan bagian yang dimilikinya.
Pemecahan ini sangat membantu dalam hal pembayaran, pelaporan, dan pengelolaan kewajiban perpajakan secara terpisah dan legal.
Apa Itu Pemecahan SPPT PBB-P2?
Pemecahan SPPT PBB-P2 adalah proses administratif untuk memisahkan satu SPPT atas satu objek pajak menjadi dua atau lebih SPPT yang berdiri sendiri.
Proses ini hanya dapat dilakukan apabila terdapat kepemilikan atau penguasaan oleh lebih dari satu pihak atas objek pajak tersebut, serta telah ada batas fisik yang jelas antar bagian tanah atau bangunan.
Tujuan utama dari pemecahan ini adalah memberikan kemudahan kepada setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masing-masing, sekaligus mendukung legalitas dan tertib administrasi pertanahan.
Syarat Administrasi Pemecahan SPPT PBB-P2
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 458 Tahun 2024, berikut adalah syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi dalam pengajuan pemecahan SPPT PBB-P2:
- Surat permohonan resmi;
- Identitas pemohon:
- Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: KTP atau KITAP (untuk WNA);
- Untuk Wajib Pajak Badan: NIB, NPWP Badan, KTP pengurus, dan akta pendirian/perubahan;
- Surat kuasa bermaterai dan KTP penerima kuasa (jika dikuasakan);
- SPOP/LSPOP yang telah diisi lengkap, jelas, dan ditandatangani;
- Cetakan SPPT PBB-P2 terbaru;
- Bukti kepemilikan tanah:
- Sertifikat tanah (jika sudah bersertifikat);
- Jika belum bersertifikat atau sudah tidak berlaku: fotokopi surat kavling/girik/dokumen lainnya, Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (Lampiran II), dan Surat Keterangan Lurah (PM.1);
- Fotokopi bukti peralihan atau pengoperan hak;
- Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan atau Persetujuan Bangunan Gedung (opsional);
- Foto objek pajak;
- Gambar situasi objek pajak;
- Bukti pelunasan PBB-P2:
- Minimal 5 tahun terakhir untuk tanah induk;
- Jika penguasaan objek kurang dari 5 tahun, cukup sejak tahun dimiliki/dikuasai;
- Jika objek merupakan objek BPHTB, lampirkan SSPD BPHTB.
Pemecahan SPPT PBB-P2 tidak hanya soal kepraktisan dalam membayar pajak, tetapi juga merupakan bagian dari upaya menciptakan kepatuhan dan ketertiban dalam administrasi perpajakan. Dengan SPPT yang terpisah, setiap pihak dapat menjalankan kewajibannya secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
Masyarakat yang berencana melakukan pemecahan SPPT diimbau untuk menyiapkan seluruh dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kelengkapan dan ketepatan dokumen akan mempercepat proses verifikasi dan penerbitan SPPT baru oleh otoritas pajak daerah.
Comments