in ,

Dari PPN Terbatas hingga PPh Kurang Progresif, Ini Catatan Kritis AMRO untuk Indonesia

AMRO untuk Indonesia
FOTO: Dok. AMRO

Dari PPN Terbatas hingga PPh Kurang Progresif, Ini Catatan Kritis AMRO untuk Indonesia

Pajak.comSingapura – ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyoroti berbagai tantangan serius yang dihadapi Indonesia dalam memperkuat penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan fiskal. Dalam Laporan Konsultasi Tahunan 2025 yang dirilis akhir pekan lalu, AMRO menyebut bahwa basis pajak Indonesia masih terlalu sempit, pelaksanaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum menyeluruh, dan struktur Pajak Penghasilan (PPh) belum cukup progresif untuk menopang pembiayaan pembangunan jangka panjang.

“Memperluas basis pajak, terutama untuk PPN dan pajak penghasilan, adalah hal yang esensial. Normalisasi tarif PPN sebesar 12 persen agar berlaku secara menyeluruh, termasuk untuk barang dan jasa nonmewah, tidak hanya memperluas basis pajak, tetapi juga mengurangi biaya administrasi pajak,” tulis AMRO dalam laporan tersebut, dikutip Pajak.com, Senin (23/6/2025).

Sejak 1 Januari 2025, pemerintah hanya menerapkan tarif PPN 12 persen untuk barang mewah, sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenai tarif 11 persen. Kebijakan ini diambil untuk menjaga konsumsi masyarakat, namun menyebabkan potensi kehilangan penerimaan hingga Rp70 triliun atau 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca Juga  Gandeng Kejaksaan Tinggi, DJP Jatim II Bantu Instansi Pemerintah Desa Hindari Sanksi Pajak

Selain itu, pengecualian PPN yang luas, termasuk untuk jasa hotel dan restoran, dinilai turut melemahkan efektivitas pemungutan. AMRO juga menilai ambang batas pendaftaran PPN yang tinggi berdampak signifikan terhadap belanja perpajakan.

“Belanja perpajakan akibat ambang batas pendaftaran PPN yang tinggi diperkirakan mencapai Rp61,3 triliun pada 2025,” kata AMRO.

Struktur PPh orang pribadi juga menjadi sorotan. Meskipun pemerintah telah menambah jumlah lapisan tarif dari empat menjadi lima, AMRO menilai struktur tarif masih belum cukup progresif. Saat ini, tarif tertinggi 35 persen hanya dikenakan untuk penghasilan di atas Rp5 miliar atau sekitar 141 kali upah rata-rata nasional. Sementara tarif 30 persen berlaku untuk penghasilan antara Rp500 juta hingga Rp5 miliar, atau sekitar 14 kali rata-rata upah.

“Memperkenalkan lapisan tarif tambahan untuk kelompok berpenghasilan tinggi dapat menjadi pertimbangan,” sambung AMRO.

Di sisi lain, AMRO mengapresiasi langkah pemerintah dalam memperkuat administrasi perpajakan, khususnya melalui penerapan Core Tax Administration System (Coretax), yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan pajak.

Baca Juga  Kanwil DJP Jakut Lelang Aset Sitaan Penunggak Pajak Senilai Rp4,4 Miliar, Ini Daftarnya! 

“AMRO menyambut baik upaya pemerintah dalam memperkuat administrasi pajak. Implementasi Coretax yang efektif diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan kepatuhan Wajib Pajak,” jelas AMRO.

Untuk mendukung keberhasilan Coretax, AMRO mendorong pemerintah agar terus meningkatkan edukasi kepada Wajib Pajak dan mengoptimalkan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lembaga ini juga mencontohkan kemungkinan penerapan sanksi administratif terhadap Wajib Pajak yang tidak patuh.

“Sebagai contoh, Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan dapat dikenai pembatasan sementara dalam mengakses layanan publik tertentu, seperti SIM, persetujuan pinjaman dari lembaga keuangan, atau sertifikat hak milik atas tanah dan bangunan,” papar AMRO.

Di sisi penerimaan, AMRO mencatat penurunan tajam sebesar 21 persen pada dua bulan pertama 2025 dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dipicu oleh peningkatan restitusi akibat penurunan harga komoditas global serta kendala teknis dalam penerapan Coretax. Akibatnya, defisit fiskal diperkirakan melebar menjadi 2,7 persen dari PDB pada 2025, melebihi target APBN sebesar 2,5 persen.

Baca Juga  DJP Luncurkan Aplikasi Genta, Ini Fungsinya!

Meski masih berada di bawah batas defisit 3 persen, kondisi ini mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk memberikan insentif tambahan kepada pelaku usaha, termasuk UMKM, atau menyalurkan bantuan sosial tambahan jika diperlukan.

“Untuk mendukung kebutuhan belanja yang terus meningkat, pemerintah harus terus memperkuat mobilisasi pendapatan dan reformasi perpajakan,” tegas AMRO.

Dengan tantangan struktural, teknis, dan politik yang tidak ringan, AMRO menilai reformasi perpajakan Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh, terukur, dan konsisten agar penerimaan negara semakin kuat dan perekonomian nasional bisa tumbuh berkelanjutan.

Sebagai informasi, AMRO merupakan lembaga riset makroekonomi regional yang dibentuk oleh negara-negara anggota ASEAN+3, yakni 10 negara ASEAN bersama dengan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. AMRO bertugas memantau kondisi ekonomi dan stabilitas keuangan kawasan, memberikan rekomendasi kebijakan, serta mendukung kerja sama keuangan antarnegara anggota.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *