in ,

Akademisi UI Dorong Optimalisasi Penerimaan dari Wajib Pajak “Crazy Rich”, Ini Respons Staf Sri Mulyani hinga Praktisi

Wajib Pajak “Crazy Rich”
FOTO: Aprilia Hariani/PAJAK.COM

Akademisi UI Dorong Optimalisasi Penerimaan dari Wajib Pajak “Crazy Rich”, Ini Respons Staf Sri Mulyani hinga Praktisi

Pajak.com, Jakarta – Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI) Thesa Adi Purwanto mendorong pemerintah mengoptimalkan penggalian potensi penerimaan dari Wajib Pajak High Wealth Individual (HWI) atau crazy rich. Sebab proporsi Wajib Pajak HWI hingga Agustus 2024, hanya berkisar 0,016 persen atau berjumlah 11.268 ribu dari total 70 juta Wajib Pajak terdaftar.

Data tersebut pun direspons oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti (Frans), Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji, hingga akademisi Universitas Trisakti Sabar L.Tobing dalam acara Taxcussion 2025, (21/6/25).

Thesa menjelaskan bahwa HWI merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk individu yang memiliki kekayaan bersih yang tinggi. Kekayaan tersebut diukur dalam bentuk aset finansial, seperti properti, investasi, saham, lalu dikurangi dengan utang. Setiap negara memiliki kriteria masing-masing untuk menetapkan Wajib Pajak HWI. Di Indonesia, HWI ditetapkan berdasarkan pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35 persen kepada Wajib Pajak dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.

“Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Januari hingga Agustus 2024, penerimaan pajak dari HWI atau yang dikenakan tarif pajak progresif 35 persen adalah sebesar Rp18,5 triliun, itu berjumlah 11.268 ribu Wajib Pajak. Sedangkan total Wajib Pajak terdaftar ada 70,3 juta. Jadi, proporsi jumlah Wajib Pajak HWI hanya 0,016 persen, yang artinya ini masih ada potensi bagi pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak atau penerimaan,” ungkap Thesa, dikutip Pajak.com(23/6/25).

Strategi dan Saran Optimalkan Pajak dari HWI

Frans mengungkapkan bahwa DJP telah melakukan upaya untuk menggali potensi pajak HWI melalui pelaksanaan program Reformasi Perpajakan Jilid III. Implementasinya, yakni menyandingkan data/informasi yang diterima DJP dari berbagai lembaga terkait dengan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

“Pada HWI yang memiliki penghasilan besar, terus terang kita sudah lakukan penyandingan data. Menariknya, kemampuan HWI untuk melakukan tax planning-nya luar biasa, karena misalnya mereka meng-hire konsultan besar. Namun, DJP juga sudah mengkaji modus-modusnya,” ujar Frans.

Baca Juga  HWI Jadi Prioritas Pengawasan Pajak, IKAPRAMA Bantu Wajib Pajak Pahami Strategi Tata Kelola yang Efektif

Berdasarkan kajian tersebut DJP telah memetakan beberapa modus HWI yang digunakan sebagai skema tax planning, yaitu dengan manajemen utang di luar negeri, pengambilan saham yang ada di luar negeri, menghibahkan penghasilan ke anaknya, atau mengalihkan penghasilan ke kripto atau aset digital lainnya.

Meski demikian, Frans mengingatkan bahwa saat ini DJP dan yurisdiksi negara mitra saling menerima data/informasi untuk kepentingan perpajakan. Kerja sama tersebut dilakukan berdasarkan skema perjanjian Automatic Exchange of Information (AEoI).

“Kami juga bekerja sama dengan PPATK [Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan] untuk menyandingkan data/informasi, misalkan ada modus HWI mengalihkan kekayaannya ke anak bahkan supir. Kolaborasi dengan lembaga apapun kita lakukan untuk menghadapi modus-modus penghindaran pajak. Kita cek semua,” ungkap Frans.

Sabar L.Tobing berpendapat bahwa rendahnya kontribusi pajak HWI perlu ditelaah secara lebih dalam. Pasalnya, pajak dikenakan atas penghasilan bukan terhadap aset dari HWI.

“Menurut saya, yang paling mudah untuk mendeteksi adalah total aset mereka miliki. Karena orang itu tidak akan pernah menyimpan asetnya secara menyeluruh, karena karakter manusia akan menunjukkan asetnya. Kemudian, sandingkan dengan pajak yang dibayarkan,” ujar Sabar.

Baca Juga  Konsultan Pajak Ini Urai Kompleksitas Pemeriksaan Pajak HWI dan Korporasi

Bawono Kristiaji mengusulkan agar pemerintah mendesain kebijakan efektif bagi HWI. Pasalnya, mayoritas HWI mendapatkan penghasilan pasif yang dikenakan PPh final—bukan tarif PPh progresif.

“Saya melihat negara yang sulit memajaki HWI adalah mereka yang memiliki tingkat ketimpangan kekayaan tinggi dan kurangnya kualitas kebijakan perpajakannya. Untuk itu, mungkin sistem PPh final kita harus dikoreksi juga. Karena semakin kaya, komposisi income-nya lebih banyak dari pasif. Apakah kita sudah mampu mengoptimalkan PPh final dari itu? Saya jawab, belum,” ujar Bawono.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *