Konsultan Pajak Ini Urai Kompleksitas Pemeriksaan Pajak HWI dan Korporasi
Pajak.com, Jakarta – Tantangan adalah hambatan atau situasi sulit yang kerap menguji kemampuan, ketahanan, dan kreativitas seseorang untuk mencapai tujuan. Bagi Senior Tax Manager GNV Consulting Services Shanty Edilasari, tantangan merupakan pemupuk gelora berkarier di dunia perpajakan selama 17 tahun. Dengan berpijak dari pengalaman bekerja di Big Four maupun perusahaan besar, Shanty kian andal mengurai berbagai kompleksitas pemeriksaan bagi Wajib Pajak High Wealth Individual (HWI) maupun korporasi besar.
Menapaki lorong waktu lebih dari 2 dasawarsa silam, Shanty yang duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas (SMA), dengan mantap memilih Program Studi Administrasi Perpajakan Vokasi Universitas Indonesia (D-3 UI). Keteguhan atas pilihannya itu didasari oleh ketertarikannya pada ilmu akuntansi, hukum, dan pajak.
Bahkan, Shanty telah memetakan segala potensi karier hingga tantangan yang menyertai pilihan jurusan tersebut. ”Waktu tahun 2003, tidak banyak kampus memiliki jurusan Perpajakan. Saya melihatnya sebagai peluang dan tantangan yang sangat luas. Profesi di bidang perpajakan sangat dibutuhkan, namun menantang ke depannya,” kenangnya di Kantor GNV Consulting Services, Lantai 23 Menara AIA Central, Jakarta, dikutip Pajak.com (17/2).
Lulus dari kampus pada tahun 2006, Shanty memulai perjalanan kariernya sebagai konsultan pajak, seraya melanjutkan pendidikan S-1 Prodi Akuntansi Universitas Trisakti. Pencinta tanaman hias Aglaonema ini ingin memupuk profesionalitasnya di bidang perpajakan dengan terus mengembangkan pengetahuan dan keilmuan.
Memupuk Profesionalitas di “Big Four”
Setelah meraih gelar sarjana, ia menyibak tantangan baru untuk berkarier di salah satu Big Four (4 kantor akuntan terbesar). ”Tantangan, bisa enggak sih saya (bekerja di Big Four?), bagaimana sih (bekerja di Big Four)?,” katanya.
Berbekal latar belakang pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, Shanty berhasil menjalani kariernya di salah satu kantor akuntan Big Four selama 3 tahun dengan jabatan terakhir sebagai tax senior. Ia mengaku, fase perjalanan ini membentuknya menjadi konsultan pajak dengan integritas dan loyalitas.
Pasalnya, ditempatnya berkarier kala itu, memiliki budaya kerja yang sangat sistematis serta prosedural, mulai dari pemilihan calon klien hingga tahapan penyelesaian perkara. ”Kita harus mengecek dulu background bisnisnya calon klien, apakah memenuhi kriteria dari standardisasi Big Four? Karena kita harus memastikan tidak ada risiko ke depannya. Ketika project itu mulai berjalan, biasanya partner menunjuk manager atau senior manager sebagai penanggung jawab, kemudian nanti di bawahnya itu ada timnya, mungkin ada assistant manager, senior atau junior,” jelas Shanty.
Dalam proses penyelesaian pekerjaan, partner akan menetapkan goal kepada manager. Kemudian, manager menerjemahkannya dalam bentuk strategi sekaligus penyusunan timeline kepada tim agar proses menyelesaikan pekerjaan dapat sistematis dan progresif. Kecakapan berbahasa Inggris serta loyalitas waktu juga menjadi kunci utama bekerja di Big Four.
Kapabilitas serta loyalitas itu menjadi jalan bagi Shanty memperoleh kesempatan untuk dipromosikan sebagai assistant manager. Namun, ia justru memilih tantangan baru dengan pindah ke salah satu perusahaan ritel berstatus terbuka (Tbk) ternama di Indonesia. Selang 3 tahun, Shanty memulai bab lain dalam fase perjalanan kariernya di perseroan sektor pertambangan batu bara.
Baginya, menemukan tantangan baru bak oase di gurun pasir. ”Kalau perusahaan jasa mungkin enggak sekompleks jual perusahaan barang. Misalnya, menangani pemeriksaan perusahaan pertambangan batu bara. Pemeriksa pajak pasti akan melakukan pemeriksaan lapangan. Maka, tantangannya adalah kita harus mendampingi pemeriksa pajak ini ke lapangan, yang mana (kondisi) di alam kadang di luar dari dugaan,” ungkap Shanty.
Berdasarkan pengalamannya, pemeriksa pajak akan menelaah proses bisnis dari sektor pertambangan dari hulu ke hilir. Tantangannya adalah pemeriksa pajak akan detail meminta data/informasi dari setiap proses bisnis kepada Wajib Pajak pada saat lapangan secara langsung.
”Data yang pemeriksa ambil langsung di lokasi lapangan, belum tentu sama dengan data dalam laporan (keuangan). Karena ada berbagai macam hal, misalnya ada adjustment, perbedaan pengukuran atau metode—ada yang memakai metode berat, melalui ketinggian, ketinggian tumpukan, dan lain sebagainya. Jadi, kita di posisi ketemu di tengah, menjelaskan bahwa yang maksud pemeriksa ini mungkin bisa berbeda dengan faktanya,” jelas Shanty.
Dengan demikian, ia harus bertugas menyamakan persepsi pemeriksa dan Wajib Pajak dengan merekonsiliasi data. Pemilik Sertifikat USKP Tingkat A dan B ini percaya, setiap masalah pasti ada jalan keluar, asalkan diiringi dengan kerja keras, tanggung jawab, serta tegak lurus pada integritas. Setidaknya prinsip ini pula yang ia teladani dari ayahanda.
Pengembaraan karier Shanty selama 14 tahun itu akhirnya melabuhkan pendaratan kariernya di GNV Consulting Services mulai Februari 2022. Dengan memulai jabatan sebagai manager, Shanty diberi kepercayaan penuh untuk menyelesaikan sengketa pajak. Baginya, kembali berprofesi sebagai konsultan pajak merupakan keputusan yang menantang sekaligus menarik.
”Dengan bimbingan para partner, beberapa kali saya menang beberapa kasus di Pengadilan Pajak. Hal yang berkesan dan menjadi kebanggan bagi saya, ketika kembali menjadi konsultan pajak, Wajib Pajak yang kita bantu juga sangat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih karena selama ini belum pernah menang,” ungkap Shanty.
Strategi Penyelesaian Pemeriksaan Pajak HWI dan Korporasi
Di posisi senior tax manager saat ini, Shanty bertanggung jawab mendampingi Wajib Pajak menghadapi kompleksitas sengketa pajak, termasuk pemeriksaan. Ia mengamati bahwa saat ini terdapat potensi pemeriksaan pajak yang besar bagi Wajib Pajak HWI dan Perusahaan besar. Apalagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membentuk Komite Kepatuhan khusus mengawasi 2 kriteria Wajib Pajak tersebut dan adanya skema Automatic Exchange of Information (AEoI).
Di sisi lain, menurutnya, target penerimaan DJP yang semakin tinggi setiap tahun turut menjadi indikator dilakukannya pemeriksaan pajak terhadap HWI dan perusahaan besar. ”Melalui skema AEoI, DJP bisa mengetahui apakah HWI atau perusahaan memiliki aset atau harta di luar negeri yang belum di laporkan (di Surat Pemberitahuan/SPT tahunan) di Indonesia,” ungkap Shanty.
Oleh sebab itu, ia mengimbau Wajib Pajak memiliki strategi yang efektif untuk memitigasi pemeriksaan pajak tersebut. Hal fundamental yang harus dipastikan adalah kewajiban perpajakan bulanan maupun tahunan dapat dipatuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.
6 Faktor Utama Pemeriksaan Pajak
Menurut Shanty, strategi itu dapat dipersiapkan dengan matang oleh Wajib Pajak HWI atau perusahaan. Sebab pemeriksaan pajak sejatinya dilakukan secara rutin oleh DJP—dengan 6 faktor utama.
Pertama, untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, seperti pelaporan SPT lebih bayar atau SPT yang menyatakan kerugian. Kedua, Wajib Pajak mengajukan restitusi. Ketiga, Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran atau meninggalkan Indonesia selamanya.
Keempat, Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku, metode pembukuan atau penilaian kembali aktiva tetap. Kelima, alasan pemeriksaan untuk tujuan lain saat DJP memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan, penghapusan NPWP, pengukuhan atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Keenam, pemberian fasilitas perpajakan untuk Wajib Pajak di daerah tertentu.
”Dari alasan-alasan ini sebenarnya Wajib Pajak sudah bisa mengetahui bahwa akan dilakukan pemeriksaan pajak. Maka, perlu dipastikan bahwa semua transaksi yang terjadi sudah dicatat sesuai dengan prosedur akuntansi (pembukuan) yang berlaku. Kemudian perlu mempersiapkan rekonsiliasi, mulai dari penghasilan, biaya, objek PPN maupun objek pemotongan PPh (Pajak Penghasilan),” jelas Shanty.
Bagi HWI dan perusahaan besar, penting juga memastikan bahwa pelaporan keuangannya telah diperiksa oleh auditor eksternal. Ketika dalam proses pemeriksaan pajak, strategi efektif bagi Wajib Pajak adalah memerhatikan timeline dari jangka waktu pemeriksaan, menyiapkan data dan dokumen yang diperlukan serta argumentasi dan pembuktikan terkait kemungkinan temuan pajak.
”Di pertemuan pertama dengan pemeriksa, Wajib Pajak sudah harus menyiapkan dokumen dasar, seperti akta perusahaan, laporan keuangan (audit report), SPT tahunan, dan perjanjian-perjanjian yang dianggap penting. Setelahnya itu, akan ada permintaan dokumen lebih detail yang diminta oleh pemeriksa pajak. Untuk transaksi yang besar, Wajib Pajak diharapkan sudah bisa memitigasi implikasi pajaknya seperti apa,” jelas Shanty.
Ia menambahkan bahwa, terdapat ruang bagi Wajib Pajak untuk meminta tambahan waktu dalam memberikan dokumen. Untuk itu, Shanty menyarankan adanya komunikasi yang baik antara Wajib Pajak dengan pemeriksa. ”Mungkin dokumen bisa diberikan secara parsial/ sebagian dahulu sambil kemudian melengkapi seluruhnya,” imbuhnya.
Ia menekankan, Wajib Pajak sangat perlu mengetahui hak dan kewajibannya saat dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
Shanty menjelaskan, Wajib Pajak berhak meminta pemeriksa pajak untuk memperlihatkan tanda pengenal dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak (SP2); meminta penjelasan tentang alasan dan tujuan pemeriksaan, menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP), dan menghadiri pembahasan akhir pemeriksaan pajak.
”Usahakan agar Wajib Pajak memberikan data yang diminta oleh pemeriksa sesuai surat permintaan data, adanya bukti/tanda terima penyerahan data/dokumen, kemudian untuk temuan atau koreksi dari pemeriksa sebaiknya dapat diselesaikan sebelum SPHP diterbitkan. Terkait tanggapan atas SPHP, sebaiknya Wajib Pajak dapat memberikan penjelasan berdasarkan dasar hukum peraturan yang berlaku serta didukung dengan dokumen pendukungnya,” jelas Shanty.
Selain oleh DJP, ia pernah menemukan Wajib Pajak menghadapi pemeriksaan pajak dan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)/Bea Cukai secara bersamaan. Hal ini akan menambah kompleksitas penyelesaian sengketa perpajakan.
”Kami melakukan sinergi dengan tim Bea Cukai juga terkait data, agar inline data dan dokumen yang diberikan ke Bea Cukai dan DJP—harus sama,” tambah Shanty.
Secara simultan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Quality Assurance (QA) pemeriksaan apabila masih terdapat hasil pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati.
”Namun, permohonan pembahasan dengan tim QA dilakukan ketika sudah ada pembahasan hasil pemeriksaan, sudah ditandatangani oleh pemeriksa dan Wajib Pajak. Kemudian, berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan belum ditandatangani oleh tim pemeriksa pajak dan Wajib Pajak. Lalu, terdapat perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan,” urai Shanty.
Ia mengingatkan, surat permohonan pembahasan dengan tim QA harus disampaikan secara langsung atau melalui faksimile dalam jangka waktu paling lama 3 hari kerja sejak penandatanganan Risalah Pembahasan. Tahapan terakhir, tim QA akan membuat Risalah atas simpulan dan Keputusan Hasil Pembahasan.
Ia pun mengingatkan tahapan krusial saat pembahasan akhir pemeriksaan pajak. Wajib Pajak perlu memerhatikan koreksi yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak harus dituangkan dalam Risalah Pembahasan Akhir. Hal ini sebagai bahan pertimbangan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan setelah Surat Ketetapan Pajak (SKP) terbit.
“Wajib Pajak harus melakukan analisis untuk menentukan apakah perlu dilakukan proses ke tahap selanjutnya atas koreksi yang tidak disetujui, yaitu ke tahap proses keberatan dan banding, atau tidak. Apabila berdasarkan analisis, peluang keberhasilannya kecil atau nilai koreksi tersebut dianggap tidak signifikan, maka sebaiknya tidak perlu diajukan keberatan,” ujar Shanty.
Mitigasi Pemeriksaan Pajak di Era ”Core Tax”
Di era implementasi core tax, Shanty meyakini proses administrasi perpajakan akan jauh lebih mudah, terintegrasi, dan terdigitalisasi. Untuk itu, Wajib Pajak perlu memastikan kebenaran data/dokumen yang dilaporkan dalam SPT tahunan. Terlebih core tax memiliki menu ”Pelaporan Laporan Keuangan/Akuntansi” pada saat melaporkan SPT Tahunan.
”Artinya, DJP bisa melakukan analisis secara mudah dan cepat melalui core tax. Menurut saya, Wajib Pajak perlu lebih hati-hati dalam melaporkan laporan keuangannya, memastikan bahwa sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku,” ucap Shanty.
Ia pun memproyeksi proses pemeriksaan pajak melalui core tax akan dilakukan secara terpusat. Shanty mengatakan bahwa core tax sudah memiliki menu ”Pemeriksaan Pajak” yang diestimasi akan mendigitalisasi seluruh prosedur pemeriksaan.
”Gambaran saya, pemeriksa dapat meminta dokumen melalui surat yang akan di-upload melalui core tax. Kemudian, dari Wajib Pajak harus ada awareness untuk mengecek akun core tax-nya. Dari situ, Wajib Pajak juga bisa meng-upload data-data yang diminta. Di sini perlu ada komunikasi antara pemeriksa dan Wajib Pajak terkait data-data atau surat yang sudah di-upload di core tax, supaya tidak terjadi miscommunication,” kata Shanty.
Dengan demikian, tantangan utama dalam proses pemeriksaan pajak setelah implementasi core tax adalah proses komunikasi. Shanty mengingatkan, dalam proses pemeriksaan, banyak hal perlu dijelaskan secara off-line karena perlu memperlihatkan bukti pendukung sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi antara Wajib Pajak maupun pemeriksa pajak.
”Wajib Pajak perlu menjelaskan terkait temuan dan koreksinya secara langsung agar tidak terjadi kesalahpahaman,” pungkas Shanty.
Comments