DJP Buka Suara Terkait Transaksi Pakai QRIS Kena PPN 12 Persen!
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penjelasan terkait isu yang beredar mengenai transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang ikut kena imbas terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada Januari 2025 mendatang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menegaskan bahwa jasa sistem pembayaran menggunakan QRIS bukan merupakan objek pajak baru.
“Perlu kami sampaikan bahwa transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022,” kata Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Pajak.com pada Selasa (24/12).
Dwi menjelaskan bahwa dasar pengenaan PPN dalam transaksi QRIS adalah Merchant Discount Rate (MDR), yakni biaya yang dipungut oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran dari pemilik merchant. Artinya, pajak ini tidak langsung dikenakan kepada konsumen, melainkan pada merchant melalui penyelenggara sistem pembayaran.
Sebagai ilustrasi, Dwi memberikan contoh: pada Desember 2024, seorang konsumen bernama Pablo membeli televisi seharga Rp 5.000.000. Atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp 550.000, sehingga total harga yang dibayarkan Pablo menjadi Rp 5.550.000. “Jumlah pembayaran ini tetap sama, baik menggunakan QRIS maupun metode pembayaran lainnya,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Dwi menegaskan kembali bahwa konsumen tidak perlu khawatir karena pembayaran dengan QRIS tidak memengaruhi total harga yang harus dibayar. Sebab, pengenaan PPN ini sudah sesuai dengan aturan yang berlaku sebelumnya dan hanya berlaku pada MDR yang dikenakan kepada merchant.
Transaksi Pakai Uang Elektronik dan Dompet Digital
Mulai tahun 2025 mendatang, penggunaan uang elektronik dan dompet digital atau e-wallet akan dikenakan PPN 12 persen. Ketentuan ini telah diatur juga dalam PMK 69/PMK.03/2022. Meski demikian, perlu diketahui bahwa objek pajaknya bukanlah nilai top-up atau saldo, melainkan jasa layanan yang diberikan oleh penyedia layanan uang elektronik atau dompet digital.
Dwi, menjelaskan bahwa PPN atas uang elektronik dan dompet digital sebenarnya bukanlah pajak baru. “Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut,” kata Dwi.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, berikut ilustrasi perhitungan PPN atas jasa layanan uang elektronik dan dompet digital yang dibuat oleh DJP:
Ilustrasi 1:
Pengisian Uang Elektronik Rp 1.000.000
Zain melakukan pengisian ulang (top-up) uang elektronik sebesar Rp 1.000.000. Biaya jasa top-up yang dikenakan adalah Rp 1.500. Maka, perhitungan PPN adalah:
- PPN 11%:
11% x Rp 1.500 = Rp 165.
- PPN 12% (baru):
12% x Rp 1.500 = Rp 180.
Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya sebesar Rp 15. Ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen memberikan dampak yang minimal terhadap biaya jasa layanan.
Ilustrasi 2:
Pengisian Dompet Digital Rp 500.000
Slamet mengisi saldo dompet digital atau e-wallet sebesar Rp 500.000 dengan biaya jasa pengisian sebesar Rp 1.500. Perhitungan PPN-nya sebagai berikut:
- PPN 11%:
11% x Rp 1.500 = Rp 165.
- PPN 12% (baru):
12% x Rp 1.500 = Rp 180.
Kenaikan PPN juga hanya Rp 15. Ini membuktikan bahwa seberapa besar nilai top-up yang dilakukan tidak memengaruhi jumlah PPN yang dikenakan. PPN hanya dihitung berdasarkan biaya jasa layanan pengisian, selama biayanya tetap.
Dwi juga menegaskan bahwa konsumen tidak perlu khawatir dengan perubahan tarif PPN ini. “Artinya, berapa pun nilai uang yang top-up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top-up tersebut,” jelasnya.
Comments