Analis Teropong Pengaruh PPN 12 Persen terhadap Pasar Modal 2025
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah memutuskan untuk tetap menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang/jasa premium mulai 1 Januari 2025. Kepada Pajak.com, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta meneropong pengaruh kenaikan tarif PPN terhadap pasar modal Indonesia pada tahun depan.
”Sebenarnya ketika terjadi kenaikan PPN atau bahkan PPh (Pajak Penghasilan) pengaruhnya tidak begitu signifikan terhadap pasar modal. Maksud pengaruh itu dampak negatif,” ungkap Nafan, (30/12).
Ia menjelaskan, analisis tersebut didasari oleh kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami kenaikan setiap tahunnya. Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada 2021 tercatat sebesar 6.581,48 atau naik 10,08 persen dari tahun sebelumnya karena didukung oleh pemulihan ekonomi nasional dan peningkatan jumlah investor ritel.
Kemudian, IHSG naik 4,09 persen atau mencapai 6.850,52 di tahun 2022. Bahkan, IHSG mencapai rekor tertinggi pada September 2022 di level 7.318,016 karena lonjakan harga komoditas, seperti batu bara dan minyak sawit. Melesatnya IHSG ini terjadi di tengah kenaikan tarif PPN dari 10 ke 11 persen pada 1 April 2022.
Namun, terjadi koreksi pada tahun 2023 karena meningkatnya kondisi geopolitik global sehingga IHSG turun menjadi 7.010,4. Sementara itu, penutupan IHSG pada 2024 diestimasi mencapai 7.850,00.
”Kenaikan IHSG ini mengindikasikan bahwa fundamental perekonomian domestik Indonesia masih solid,” tegas Nafan.
Untuk itu, ia mengimbau agar investor saham tak perlu khawatir dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Terlebih, pemerintah mengenakan tarif PPN 12 persen ke barang/jasa premium.
”Memang ada kekhawatiran bahwa ini (kenaikan tarif PPN jadi 12 persen) bisa menekan tingkat konsumsi. Namun, masalah ini bisa diatasi emiten-emiten, bisa dengan melakukan mitigasi risiko kebijakan tersebut. Salah satunya adalah terus melakukan inovasi produk agar tetap menarik tetapi masih terjangkau para konsumen,” kata Nafan.
Secara spesifik, ia menganalisis bahwa ada potensi penurunan performa emiten sektor properti. Sebab daya beli masyarakat kelas menengah ke atas diprediksi menurun pada tahun depan.
”Penjualan-penjualan properti, seperti rumah atau apartemen mungkin hanya akan dibeli oleh masyarakat kelas atas, karena kelas menengah ke bawah terdampak kenaikan pajak (tarif PPN) dan masih menahan diri saat bunga tinggi,” imbuh Nafan.
Comments