Mengenal Pajak Internasional dan Penerapan di Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Isu pajak internasional belakangan ini kian populer dan menjadi pembahasan utama di pelbagai forum global. Hal itu tidak lepas dari peran Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 yang aktif menyuarakan dan menyusun aksi bersama untuk menangkal penghindaran pajak di seluruh dunia, salah satunya diimplementasikan melalui pertukaran data dan informasi secara otomatis (Automatic Exchange Of Information/AEoI) antar negara.
Kemudian, isu pajak internasional semakin akrab di telinga kita, terlebih ketika Indonesia memegang tongkat estafet Presidensi G20 (2021-2022). Belum lama ini dalam rangkaian Presidensi G20, Forum Asia Initiative melanjutkan untuk menyusun konsensus tentang penerapan transparansi pajak di negara Asia dan saling mendukung optimalisasi penerimaan di masing-masing otoritas.
Lantas, apa itu itu pajak internasional? Dan bagaimana penerapan pajak internasional di Indonesia? Pajak.com akan mengulasnya dari pelbagai literasi, aturan yang berlaku, dan penjelasan dari Direktorat Perpajakan Internasional (PI) Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Pajak internasional didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara yang memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ketentuan dasar pajak internasional mengacu pada Konvensi Wina 23 Mei 1969, yakni sebuah perjanjian yang berisi tentang hukum perjanjian antar negara.
Perjanjian inilah yang menyebabkan ketentuan perpajakan yang berlaku di negara tertentu tidak lagi berlaku bagi penduduk atau organisasi asing, jika telah disetujui dalam kesepakatan bilateral antar negara yang bersangkutan.
1. Pemajakan subjek pajak dalam negeri yang mendapatkan penghasilan dari sumber di luar negeri.
2. Pemajakan subjek pajak luar negeri yang menerima yang mendapatkan penghasilan dari sumber di dalam negeri.
Perjanjian ini diberlakukan untuk menghindari terjadinya pajak berganda karena perbedaan ketentuan pajak antar negara, sehingga pajak internasional yang menjadi penengah saat terjadinya hal itu.
Selain itu, pajak internasional juga bertujuan guna untuk meningkatkan taraf perekonomian serta perdagangan untuk kedua negara yang berhubungan, dan bertujuan untuk meminimalisir hambatan pada investasi atas penanaman modal asing yang diakibatkan oleh perlakuan pengenaan pajak yang diberlakukan untuk kedua negara yang bersangkutan.
1. Personal connecting factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak perpajakan suatu negara berdasarkan status pada suatu subjek pajak negara yang berkaitan, namun untuk Wajib Pajak pribadi ketentuannya dilihat dari tempat tinggal dan keberadaannya.
2. Objective connecting factor, yaitu faktor yang menghubungkan hak perpajakan suatu negara berdasarkan dengan aktivitas ekonomi atau objek pajak yang berkaitan dengan daerah teritorial suatu negara.
Di Indonesia, perlakuan pajak internasional hanya dibatasi pada subjek dan objek pajak yang berada pada wilayah Indonesia. Artinya, suatu badan yang tidak berkedudukan di Indonesia umumnya tidak akan dikenakan pajak dengan ketentuan yang dimiliki Indonesia.
Kendati demikian, berdasarkan Pasal 32 A Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (PPh), ada kewenangan pemerintah untuk melakukan segenap perjanjian dengan pemerintahan negara lain guna untuk menghindari pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Untuk itu, dilakukan Indonesia melakukan P3B terhadap beberapa negara.
P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat Wajib Pajak tinggal atau menetap.
Dalam proses pengadaan P3B, masing-masing negara akan mengajukan Model P3B masing-masing. Indonesia juga mempunyai model P3B tersendiri.
Secara umum, di dunia ada dua Model P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation and Development Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model). OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju, sedangkan UN Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara berkembang. Model P3B Indonesia adalah merupakan modifikasi dari UN Model.
Dengan merujuk ke Model P3B Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang dimodifikasi antara lain sebagai berikut:
- Pengertian subjek pajak dalam negeri.
- Perpajakan atas laba usaha dan bentuk usaha tetap (BUT).
- Pelayaran dan penerbangan.
- Perpajakan atas penghasilan dari modal.
- Perpajakan atas penghasilan dari harta tidak bergerak.
- Perpajakan atas penghasilan dari pengalihan harta (capital gain).
- Perpajakan atas penghasilan dari pekerjaan.
- Perpajakan atas penghasilan Lainnya.
- Metode P3B.
Dalam PER-15/PJ/2018, Wajib Pajak luar negeri yang berhak untuk menerima penghasilan dari Indonesia dengan memanfaatkan P3B adalah sebagai berikut:
- Wajib Pajak yang menerima penghasilan bukanlah subjek pajak dalam negeri Indonesia.
- Wajib Pajak yang menerima penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang telah menyepakati P3B.
- Tidak terjadi penyalahgunaan P3B.
- Wajib Pajak yang menerima penghasilan merupakan beneficial owner, sesuai dengan persyaratan dalam P3B.
Contoh:
Mr. John Chen merupakan warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT), bekerja pada perusahaan minyak dan gas (migas) yang melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia. Ia berada di Indonesia selama 300 hari dalam setiap tahunnya. Menurut UU Indonesia, Mr. Chen adalah subjek pajak dalam negeri karena berada di Indonesia lebih dari 183 hari. Sementara itu, karena RRT menganut asas kewarganegaraan dalam menentukan status kependudukan seseorang, Mr. Chen tetap dianggap sebagai penduduk RRT.
Dalam contoh kasus ini, P3B akan memberikan solusi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Model P3B Indonesia, apabila berdasarkan ketentuan di atas orang pribadi menjadi penduduk pada kedua contracting states, status kependudukannya akan ditentukan sebagai berikut:
- Ketentuan di atas berlaku dalam penetapan status kependudukan orang pribadi. Untuk pihak selain orang pribadi, Pasal 4 ayat (3) Model P3B Indonesia mengatur bahwa apabila suatu pihak selain orang pribadi (bisa badan atau warisan yang belum dibagi) menjadi penduduk pada kedua contracting states, pejabat yang berwenang dari kedua negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui persetujuan bersama.
- Beberapa P3B yang sekarang berlaku, apabila suatu individu menjadi penduduk pada kedua contracting states, maka individu itu akan dianggap sebagai penduduk negara di mana tempat kedudukan manajemen efektif individu itu berada. Pada praktiknya, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996, status kependudukan orang/badan cukup dibuktikan dengan certificate of residence atau Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh otoritas masing-masing negara.
Comments