in ,

Menelisik Dampak Kenaikan PPN 12 Persen: Ancaman bagi Masyarakat atau Solusi Ekonomi?

kenaikan ppn 12 persen
FOTO : IST

Menelisik Dampak Kenaikan PPN 12 Persen: Ancaman bagi Masyarakat atau Solusi Ekonomi?

Pajak.com, Jakarta – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 menuai perhatian publik. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengklaim bahwa dampak dari kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat sangat kecil, namun sejumlah analisis menunjukkan potensi risiko bagi ekonomi dan konsumsi rumah tangga.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan, dampaknya hanya 0,9 persen terhadap harga barang dan jasa. Sehingga kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tidak akan memengaruhi daya beli secara signifikan. “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” kata Dwi dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Jumat (27/12).

Ilustrasi perhitungan DJP terhadap dampak kenaikan PPN:

1.Minuman Bersoda

  • Harga minuman tanpa PPN: Rp 7.000
  • Dengan PPN 11% (2024): Rp 7.000 + Rp 770 = Rp 7.770
  • Dengan PPN 12% (2025): Rp 7.000 + Rp 840 = Rp 7.840
  • Kenaikan harga: Rp 7.840 – Rp 7.770 = Rp 70 (0,9%)

DJP juga menegaskan bahwa inflasi akan tetap terkendali. Berdasarkan hitungan pemerintah, kenaikan PPN ini hanya menambah inflasi sebesar 0,2 persen. Inflasi pada 2025 diproyeksikan tetap rendah, yakni di kisaran 1,5 hingga 3,5 persen sesuai target APBN.

Adapun, kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, jagung, sagu, daging, telur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN. Selain itu, beberapa jasa penting seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum juga tidak dikenakan tarif ini. Pemerintah memastikan insentif PPN senilai Rp 265,6 triliun untuk tahun 2025 guna menjaga stabilitas harga.

Baca Juga  Lupa EFIN dan Ingin Dipandu Lapor SPT Tahunan? Kanwil DJP Jakbar Buka Pojok Pajak di Mal Ini 

Dampak pada Ekonomi dan Konsumsi

Namun, analisis yang berbeda datang dari lembaga riset ekonomi. Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam risetnya yang bertajuk PPN 12 persen: Pukulan Telak bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah menyebutkan bahwa, kenaikan PPN ini bisa memperberat daya beli masyarakat. Pada triwulan III-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan dan bahkan turun 0,48 persen secara triwulanan.

Deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei–September 2024, serta penurunan omzet UMKM hingga 60 persen menurut laporan Bank BRI, menjadi indikasi lemahnya ekonomi masyarakat. Kenaikan PPN dianggap berpotensi memperburuk situasi ini. “Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi ini,” tulis Celios dalam laporannya.

Selain itu, tarif PPN Indonesia pada 2024 ini (11 persen) sudah lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia (8 persen) dan Singapura (9 persen), dan rencana kenaikan menjadi 12 persen akan membuat Indonesia sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan.

Hal tersebut, kata Celios dapat mengakibatkan meningkatnya inflasi. Pada tahun 2025, ketika tarif PPN meningkat menjadi 12 persen inflasi diprediksi bisa mencapai 4,11 persen. Ketika inflasi meningkat, konsumsi rumah tangga juga akan terkoreksi.

Menurut Celios, tekanan pada inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12 persen berlaku di Januari 2025. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru. Pre-emptives inflation berasal dari prilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.

Baca Juga  Sinergi Meningkatkan Kepatuhan Pajak Jelang Tenggat Pelaporan SPT Tahunan

Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12 persen. “Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi jauh lebih tinggi pada akhir tahun 2024,” tulis Celios.

Calios menyebut bahwa, kenaikan PPN membuat harga yang harus dibayarkan oleh konsumen terhadap barang dan jasa kena pajak meningkat sebesar 9 persen. Kenaikan harga tersebut bisa membuat kenaikan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 0,14 persen. Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga dan dunia usaha bisa menurun hingga 0,37 persen.

Dampak kenaikan tarif PPN juga terlihat pada sektor ekspor, meskipun pengaruhnya relatif lebih kecil dibandingkan komponen lain. Pada tarif 8 persen tambahan kontribusi ekspor sebesar Rp 23,39 triliun, pada tarif PPN 10 persen menjadi Rp 11,63 triliun pada tarif 10 persen, dan minus Rp 11,63 triliun pada tarif 12 persen. Penurunan ini dapat disebabkan oleh efek tidak langsung dari kenaikan tarif PPN yang meningkatkan biaya produksi barang ekspor, sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, pertumbuhan ekonomi tercatat lebih rendah pada angka 4,03 persen, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan oleh beberapa lembaga internasional seperti World Bank dan IMF sebesar 5,1 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,07 persen ini mencerminkan dampak negatif kenaikan tarif PPN terhadap aktivitas ekonomi, khususnya melalui pelemahan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga  Komisi XI DPR Tinjau “Core Tax” di Kantor Pajak Madya Tangerang

Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan penerimaan negara, konsekuensi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi memerlukan perhatian, terutama untuk mengurangi tekanan pada daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas sektor usaha.

Beban bagi Kelompok Rentan

Kenaikan PPN juga memengaruhi rumah tangga miskin. Diperkirakan, pengeluaran mereka akan meningkat hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1.222.566 per tahun. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, kenaikan ini akan menjadi beban tambahan yang berat. “Tambahan biaya ini bisa mengurangi tabungan, bahkan memengaruhi kemampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan,” kata Celios.

Bagi rumah tangga miskin, yang sebagian besar pengeluarannya sudah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, tambahan biaya ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Kenaikan pengeluaran ini bisa mengurangi tabungan mereka, atau bahkan memaksa mereka untuk mengurangi kualitas konsumsi sehari-hari.

Bagi sebagian keluarga miskin, pengeluaran tambahan ini bisa menjadi beban yang sangat berat, mengingat penghasilan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang kini semakin mahal. Dengan demikian, pengaruh kenaikan PPN ini sangat terasa di lapisan paling bawah masyarakat, yang sering kali kesulitan menghadapi perubahan harga yang cepat.

Pemerintah menegaskan bahwa kenaikan PPN ini sesuai amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini dianggap penting untuk menutup defisit anggaran. Namun, Celios menyarankan agar optimalisasi penerimaan dari sektor tambang ilegal dan pengemplang pajak, seperti di sektor sawit, dapat dijadikan prioritas sebelum menaikkan PPN.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *