Menu
in ,

DPR: UU HPP Pro Pengusaha dan Rakyat

Pajak.com, Jawa Tengah – Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dito Ganinduto mengatakan, sistem reformasi perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan regulasi yang pro pengusaha dan rakyat. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi Wajib Pajak (WP) untuk takut dengan pajak.

“Saya mendengar dari beberapa pengusaha di Jawa Tengah paling takut sama bu Sri Mulyani. Kenapa takut? Ini soal pajak. Justru karena ada UU HPP ini lebih pro pengusaha dan pro kepada rakyat,” ujar Dito dalam acara sosialisasi UU HPP di Jawa tengah, yang juga disiarkan secara virtual, (10/3).

Ia memastikan, dalam pembahasannya, UU HPP dilakukan secara terbuka dengan seluruh stakeholder, mulai dari asosiasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), universitas, masyarakat, keagamaan, dan organisasi pendidikan maupun kesehatan. Dengan dukungan banyak pihak, pembahasan UU HPP yang pro pengusaha dan rakyat ini berjalan relatif cepat.

“Pembahasan dilakukan dalam situasi masih dalam keadaan pandemi, sehingga dalam semua diskusi dijalankan secara hybrid (luring atau daring). Tapi semua dijalankan secara full dan sesuai target. berkat kerja sama pemerintah dan DPR, UU HPP ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu juga dapat disosialisasikan sesuai dengan ketentuannya,” ungkap Dito.

Ia mengimbau kepada WP agar dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan dalam UU HPP, salah satunya Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Program ini sudah berjalan dari 1 Januari dan berakhir pada Juni mendatang.

“Ini kalau terlewati risikonya akan besar sekali. Konsekuensi apabila tidak melaporkan hartanya malah penaltinya akan sangat besar sekali,” tegas Dito.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utomo juga mengimbau agar WP segera mengikuti PPS sebelum Juni 2022. Lebih cepat WP mengikuti, maka semakin nyaman.

“Kita mempertimbangkan dan mendengarkan aspirasi dari seluruh masyarakat dalam merumuskan UU HPP, yang merupakan salah satu bagian reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah. Undang-undang memberikan pondasi menjaga keadilan bagi seluruh Wajib Pajak,” kata Suryo.

Ia menekankan, PPS merupakan kesempatan bagi WP yang belum melaporkan hartanya hingga tahun pajak 2020 diberikan waktu untuk mengungkapkan secara sukarela. WP akan diberikan tarif yang berbeda, dari 6 persen hingga 18 persen.

Selain itu, UU HPP juga membahas pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Di dalam klaster ini ada pengecualian objek dan fasilitas PPN hingga kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen terhitung pada 1 April 2022 mendatang. Suryo memastikan, UU HPP mengubah titik penting dari aturan perpajakan. Namun tujuannya lebih mempermudah, menyederhanakan, berdaya guna, dan lebih memberikan keadilan.

“Misalnya, tarif terendah PPh 5 persen yang tadinya rentangnya sampai Rp 50 juta, sekarang di UU HPP jadi Rp 60 juta dan penghasilan di atas Rp 5 miliar bracketnya diubah menjadi 35 persen,” jelasnya.

Kemudian, ada pula regulasi mengenai pajak karbon. Di dalam nya berisi mengenai pengenaan pajak bagi penggunaan barang yang menghasilkan emisi karbon sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sama seperti PPN, pajak karbon juga berlaku mulai 1 April 2022—berlaku untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, perubahan besaran sanksi administrasi pajak pada UU HPP akan membuat implementasinya lebih rasional. Ketentuan itu akan lebih mencerminkan keadilan bagi WP.

“Tujuannya adalah rasionalisasi sanksi sehingga kalau sanksinya enggak berlebih-lebihan, menyebabkan kalau orang sudah avoid atau melanggar makin takut, makin mendelep, makin enggak keluar,” kata Sri Mulyani.

Ketentuan sanksi pajak pada UU HPP mengubah peraturan sebelumnya yang tertuang dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Dalam UU HPP, pemerintah akan mengedepankan ultimum remedium sebagai upaya penegakan hukum pidana pajak dengan memprioritaskan pemulihan kerugian pendapatan negara. Dalam hal ini, Wajib Pajak yang sengaja melakukan tindak pidana akan disanksi lebih berat ketimbang yang alpa atau tidak sengaja,” ungkapnya.

Perubahan itu juga selaras dengan semangat UU Cipta Kerja. Ketentuan sanksi administrasi pajak melalui UU HPP akan lebih mencerminkan asas keadilan bagi WP. Misalnya, pada sanksi PPh kurang bayar dan PPh kurang dipotong, terdapat sanksi dengan menggunakan suku bunga acuan dan uplift factor pada saat pemeriksaan. Sementara pada ketentuan yang lama, sanksi yang dikenakan sebesar 50 persen dan 100 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version