Menu
in ,

“Core Tax” Prioritaskan Pemeriksaan WP Berisiko Tinggi

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti memastikan, Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSIAP)/ Core Tax Administration System (CTAS) atau core tax akan membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memprioritaskan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan profil risiko tinggi. Pemerintah menargetkan implementasi core tax secara nasional dimulai Oktober 2023.

Adapun maksud profil berisiko tinggi adalah Wajib Pajak yang memiliki kontribusi besar namun tingkat kepatuhannya masih kecil. Berdasarkan analisis DJP di 2019, sebesar 65 persen Wajib Pajak berisiko tinggi adalah perusahaan yang laporan keuangannya belum diaudit oleh akuntan publik. Sementara definisi kepatuhan, terbagi atas kepatuhan formal seperti lapor Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan; serta kepatuhan material, yakni kepatuhan ketika Wajib Pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan substansi undang-undang perpajakan. Dengan demikian, penerapan core tax diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan formal maupun material, sehingga dapat menaikkan rasio pajak.

“Pembaruan coretax administration system akan mengubah model pengawasan yang dilakukan DJP kepada Wajib Pajak. Nanti by system, mereka yang berisiko tinggi yang duluan kita lakukan pengawasan dan pemeriksaan,” ungkap Frans dalam podcast D’maestro yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, dikutip Pajak.com (13/7).

Sejatinya, implementasi core tax itu sudah mulai dilakukan DJP lewat  pengembangan sistem bernama Compliance Risk Management (CRM). Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019, CRM sebagai proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh yang mencakup identifikasi, pemetaan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak serta evaluasinya.

Frans juga memastikan, core tax membuat cara kerja DJP semakin akuntabel karena semuanya didasarkan pada sistem yang terpusat. Pasalnya, sistem informasi DJP pada saat ini belum mencakup keseluruhan administrasi core business, seperti pemeriksaan dan penyidikan, konsolidasi data pembayaran, pelaporan, dan penagihan melalui sistem akuntansi yang terintegrasi.

“Pemeriksaan Wajib Pajak selama ini belum banyak memanfaatkan data yang dimiliki DJP. Pemeriksaan biasanya didahulukan kepada Wajib Pajak yang lebih bayar dan mengajukan restitusi. Dengan kondisi tersebut, pada akhirnya Wajib Pajak dengan berisiko tinggi justru belum tersentuh oleh pemeriksa. Jadi lebih efektif, fokus pada mereka-mereka yang memang suka mengemplang pajak,” ungkap Frans.

Maka, pengembangan core tax bersifat mendesak. Sebab menurut Frans, salah satu penyebab rendahnya rasio pajak di Indonesia adalah kesenjangan antara data yang diperiksa dan yang seharusnya diperiksa. Core tax diharapkan mampu menyederhanakan proses identifikasi data, sehingga pemeriksaan dapat lebih optimal. Sebagai informasi, rasio pajak Indonesia menurun di 2020 menjadi 8,33 persen dari 9,76 persen pada 2019. Walaupun sudah naik 9,12 persen di 2021, rasio pajak Indonesia masih rendah dibandingkan negara ASEAN, sebut saja Singapura 14 persen, Malaysia 15 persen, Thailand 17 persen.

Secara simultan, lanjut Frans, kementerian keuangan juga bakal untuk memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM), menyiapkan jabatan fungsional yang difokuskan untuk melakukan pekerjaan utama, seperti pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum.

Sekilas mengulas, pengembangan core tax merupakan amanah dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Beleid itu menyebut, pengembangan sistem informasi untuk perpajakan paling sedikit, meliputi PSIAP dan/atau sistem pendukung operasional administrasi perpajakan (operational support tax administration system).

Pembaruan core tax terbagi dalam empat paket pekerjaan, yakni agen pengadaan (procurement agent), sistem integrator inti administrasi perpajakan, jasa konsultansi owner’s agent – project management and quality assurance, serta jasa konsultansi owner’s agent-change management.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menekankan, core tax harus dapat meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan.

“Agar kita mewujudkan tidak hanya DJP yang andal, tapi ujungnya adalah penerimaan pajak yang rasionya terhadap GDP (Gross Domestic Product) harus naik. Bahkan saya harus mengatakan minimal dua kali lipat. Jadi, kalau Anda berbicara tentang penerimaan pajak sekarang Rp 1.700 (triliun), ya kira-kira dua kali lipat penerimaan pajak yang harusnya kita bisa collect. Indikatornya tidak abstrak,” jelas Sri Mulyani.

Ia pun meminta seluruh keluhan Wajib Pajak diinventarisasi dan diberikan solusi dalam menjawab keluhan dalam menunaikan kewajibannya. Wajib Paak mesti diberikan kemudahan dan keadilan dalam membayar pajak.

“Terus menerus berorientasi kepada bagaimana Wajib Pajak dimudahkan, diberikan kepastian, diberikan keadilan, diberikan suatu proses yang tidak berliku-liku, sehingga orang membayar pajak sedapat mungkin ikhlas tapi dia merasa bahwa dia melakukan kewajiban konstitusi tanpa menambah beban yang lain,” kata Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version